Selasa, 26 Mei 2009

Postmodernism in International Relations

Post
-modernism: Genealogy of Neorealism, Intertextual International Relations, Deconstruction of Diplomacy, Anti-Positivism, and Ontologysm
Robin Riwanda Mandagie, 070710174
Prolog
Judul dari esai saya kali ini sengaja saya buat sedikit “aneh” karena kali ini bahasan dalam teori Ilmu Hubungan Internasional adalah mengenai posmodernisme. Mengapa demikian? Karena dengan penulisan judul seperti demikian berarti penerapan posmodernisme itu sendiri, dan dengan tulisan seperti itu akan dapat kita mengerti secara jelas mengenai posmodernisme, karena penulisan judul esai saya diatas menggunakan prinsip-prinsip posmodernisme. Lantas apakah posmodernisme itu? Sebelum masuk dalam bahasan-bahasan sub dari posmodernisme seperti genealogi, intertextual, dekonstruksi, anti-positivisme, dan ontologisme, ada baiknya dulu jika kita mengerti asumsi-asumsi apa saja yang mendasari posmodernisme terbentuk.
Terminologi “pos” dalam kata posmodernisme tentu memiliki makna yang berbeda namun sedikit berbeda jika kita sandingkan dengan “neo”, dan “anti”. Jika kita berbicara mengenai neo, maka kita akan berbicara hasil dari rekonstruksi suatu teks atau pembaruan-pembaruan tertentu dalam suatu terminologi tertentu. Atau jika kita berbicara mengenai anti, maka tidak lain bahasan akan mengarah pada antitesis dari terminologi yang mendapatkan prefix anti. Tetapi jika pembahasan masuk dalam terminologi “pos” atau post maka tidak semerta-merta berbicara mengenai “anti” ataupun “rekonstruksi”. Tetapi pembahasan mengenai “pos” terutama dalam terminologi posmodernisme, maka kita akan berbicara mengenai “dekonstruksi” dari terminologi modernisme. Berbicara mengenai dekonstruksi berarti secara otomatis berbicara mengenai kritik yang bersifat something beyond knowledges, atau sesuatu yang berada diluar pemahaman kita tentang ilmu pengetahuan, bukan sekedar antitesis ataupun hasil dari rekonstruksi. Lantas apa itu yang disebut dengan modernisme? Modernisme menurut Michel Levin adalah segala sesuatu dapat dijelaskan berdasarkan kenyataaan bahwa manusia menjadi pusat dan ukuran dari semua ‘ada’ atau beings.[1] Jadi jika terminologi “pos” dan “modernisme”, maka secara etimologi posmodernisme memiliki arti bahwa posmodernisme adalah suatu bentuk kajian yang merupakan hasil dekonstruksi terhadap modernisme meng-genealogikan modernisme berdasarkan inter(kon)tekstualitas dan tekstualitas yang ada dalam modernisme itu sendiri. Merujuk pada pemikiran Levin yang beranggapan bahwa ukuran dari segala sesuatu adalah manusia, maka posmodernisme menganggap tidak ada ukuran atas segala sesuatu seperti yang dikatakan oleh perspektif archimedean yang beranggapan bahwa there is no truth.[2]
Genealogi Neorealisme
Genealogi dalam bahasan posmodernisme di Ilmu Hubungan Internasional tentu memiliki esensi yang berbeda dengan genealogi dalam artian umum terlebih genealogi dalam artian natural sciences. Berdasarkan etimologi dari genealogi itu sendiri adalah berasal dari dua kata bahasa yunani γενεά, genea, yang berarti “turunan” dan λόγος, logos, yang dapat diartikan sebagai “ilmu pengetahuan”. Jika etimologi dari genealogi ini dikembangkan secara etimologis dan dengan pemikiran genealogi menurut Richard Davetak, Genealogi mempelajari asal-muasal dari segala sesuatu (sejarah dari sesuatu) dengan pertimbangan kontekstualitas yang tinggi, yaitu bagaimana nilai-nilai yang ada disekitar penulis sejarah mengkonstruksikan pemikirannya sehingga berpengaruh pula terhadap tulisannya.[3] Nilai-nilai konstruktivisme seperti ini menurut Davetak, dalam memahami genealogi dari suatu term maka perlu pendekatan yang multi-perpektif, karena bagi seorang posmodernis, perspektif adalah hal yang paling esensial. [4] Lantas apa hubunganya dengan meng-genealogikan neorealisme? Jika berbicara mengenai hubungan internasional, maka kontribusi dari metode posmodernisme yang disebut dengan genealogi adalah mencoba mengkaitkan antara klaim terhadap ilmu-pengetahuan, dengan klaim terhadap kekuasaan (power) dan otoritas yang berhubungan erat dengan neorealisme. Dengan metode genealogi maka akan dapat diketahui bahwa neorealisme lahir dari hasil rekonstruksi realisme dengan ditambah bumbu-bumbu sistemik (strukturalisme) didalamnya. Maka secara genealogis, neorealisme lahir dari dua perspektif yang berbeda yaitu realisme dan strukturalisme, yang dimana realisme dan strukturalisme memiliki genealogi sendiri yang jika ditarik asal-muasalnya tentu akan menjurus pada nilai-nilai yang ada di lingkungan konseptor dari realisme dan strukturalisme.
Intertekstual Hubungan Internasional
Tekstualitas adalah hal yang sangat esensial dalam posmodernisme Ilmu Hubungan Internasional. Metode pembacaan teks seperti dekonstruksi dan pembacaan ganda berasal dari intertekstuaitas dalam suatu konsep. Sebelum mempelajari mengenai intertekstualitas dalam Ilmu Hubungan Internasional, perlu diketahui dulu terminolgi “teks” dalam permasalahan ini. Teks dalam posmodernisme (khususnya Derrida) adalah sesuatu yang beyond dari apa yang kita ketahui sekarang ini seperti literatur, atau pembahasan dalam ruang lingkup tertentu. Dalam konsepsi Derrida, yang dimaksudkan dengan “teks” adalah sebuah obyek ontologi yang sangat luas. Bahkan menurut Derrida, dunia (internasional) itu sendiri adalah sebuah teks.[5] Bagi Derrida untuk mencapai “dunia internasional” sebagai ontologi dari tekstualitas itupun hanya dapat dicapai dengan menginterpretasikan hasil interpertasi lebih dari sekedar menginterpertasi dari sebuah teks yang sudah ada. Hal ini disebutkan sebagai textual interplay atau jika dikonstruksikan ulang dapat juga diterminlogikan sebagai permainan intertekstual. Metode dari tekstual interplay ada dua yaitu dekonstruksi dan pembacaan ganda atau double reading. Derrida seringkali dijuluki sebagai The Father of Deconstruction, karena tak dapat dielakkan lagi bahwa yang pertamakali menggunakan terminologi dekonstruksi sebagai metode pembacaan teks dengan pertimbangan intertekstualitas dan kontekstualitas adalah Derrida. Banyak teoritisi posmodern lainnya yang merujuk pada konsepsi Derrida ketika menggunakan metode dekonstruksi.
Dekonstruksi Diplomasi
Diplomasi seperti yang diketahui secara umum dalam Ilmu Hubungan Internasional konvensional adalah sebuah lingkup dimana terjadi interaksi antara state dengan state lainnya yang dimana dalam proses diplomasi itu sendiri terdapat negosiasi, lobbying, ramah tamah, kegiatan protokoler, dll. Tetapi jika kita mengaitkannya dengan metode dekonstruksi maka akan terjadi sebuah genealogi terhadap diplomasi. Dengan mendekonstruksi diplomasi akan kita temi dua oposisi yang bersifat binary dalam diplomasi itu sendiri. Derrida seringkali menyebutkan bahwa oposisi biner dari suatu konsep sebagai parasit struktural. Mengapa demikian? Karena oposisi biner dari suatu konsep tentu lahir dari konsep itu sendiri. Bukan saja lahir dari konsep itu sendiri, tetapi opososisi biner dari suatu konsep tersebut, seperti namanya, menjadi oposisi dari konsep tersebut. Dikaitkan dengan diplomasi, dekonstruksi sebagai metode pembacaan teks tentu akan menimbulkan efek “pisau bedah” terhadap konstruksi diplomasi dari jaman dulu sam[ai era kontemporer seperti sekarang ini. Dekonstruksi sebagai metode pembacaan teks tentu tidak dapat dilepaskan dari genealogi. Dengan mendekonstruksi struktur yang ada dalam diplomasi akan tercipta sesuatu yang baru dari diplomasi, tentu tidak murni dari hasil dekonstruksi, mengingat dekonstruksi anti terhadap finalitas.[6]
Anti-Positivism
Terminologi anti-positivisme dalam kondisi tertentu ada sedikit perbedaan dengan terminologi pos-positivisme. Seperti penjelasan pada prolog, prefix anti adalah antitesis sedangkan pos adalah terminologi yang terkonduksi atas kritik terhadap suatu konteks dengan pemahaman yang beyond (kata kunci dari term pos) dari terminologi tersebut. Anti positivisme sangat melekat dalam konstruksi pemikiran teoritisi posmodernisme. Anti positivisme menekankan pada “gerakan-gerakan” anti kemapanan dimana menurut pemikir-pemikir anti-positivisme ilmun sosial adalah bukan sesuatu yang dapat disebutkan sebagai ilmu. Mengapa demikian? Karena menurut pemikiran anti positivisme fenomena sosial tidak dapat diukur dan terstrukturisasi, karena hal ini sangat berhubungan dengan subyektivitas manusia. Meskipun penelitian-penilitian sosial dilakukan sesuai dengan standar ilmiah, tetapi tetap nilai-nilai yang terkonstruksi dalam pikiran manusia akan mempengaruhi tema apa yang dipilih oleh seorang peneliti, metode apa, teori apa, dan hasil yang seperti apa. Maka dari itu para pemikir anti positivis berargumen bahwa manusia adalah makhluk yang subyektif, maka dari itu penelitian tidak dapat bersifat obyektif.[7]
Ontoliogisme
Menurut ensiklopedia (dan subyektifitas, serta perspektif) Katolik, Tuhan dan ide-ide mengenai keTuhanan adalah hal pertama yang dijadikan referensi jika membicarakan hal-hal mengenai keilmuan. Jika tidak sinergis dengan hal-hal mengenai keTuhanan maka hal tersebut tidak dinilai sebagai suatu yang ilmiah Ontologism is an ideological system which maintains that God and Divine ideas are the first object of our intelligence and the intuition of God the first act of our intellectual knowledge.[8] (penekanan ditambahkan). Tetapi jika disinergikan dengan filosofi posmodernisme, tentu posmodernisme memiliki ontologisme yang berbeda dengan pemikiran bias Katolikisme. Keunggulan utama dari posmodernisme adalah ontologisme posmodernisme yang begitu luas. Lantas apa arti ontologisme bagi posmodernisme? Ontologi posmodernisme tentu tidak bermuara pada hal-hal yang divine seperti orang-orang relijius Katolik. Ontologi posmodernisme bermuara pada sejauh mana suatu ruang lingkup atau obyek kritik mempunyai potensi kritik. Singkatnya ontologisme posmodernisme adalah ontologi dari posmodernisme itu sendiri. Satu hal yang patut diketahui adalah adalah posmodernisme sangat kuat dalam hal ontologi, dan juga mungkin metodologi. Tetapi kelemahan dari posmodernisme adalah aksiologi yang lemah mengingat posmodernisme adalah salah satu filosofi yang anti-finalitas. Karena bagi posmodernisme jika posmodernisme mencapai suatu finalitas, maka posmodernisme akan kembali menjadi sesuatu yang moderen, dan terminologi pos tidak dapat digunakan kembali.

[1] Michel Levin.(1997). Why Race Matters: Race Differences and What They Mean, Praeger Publishers.
[2] Richard Davetak. (2004). Postmodernism. Artikel Kuliah Teori Hubungan Internasional.
[3] Ibid. 2
[4] F. Nietzsche. (1969). On the Genealogy of Morals.Second Essay, Section 17. New York
[5] Jacques Derrida. (1988). Limited Inc. Evanston. Halaman 148
[6] Jonathan Culler.(1999). On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism
[7] Beth Perry,(1999), Summary of Positivist and Anti-positivist. Positions the Social Science PGCE group, University of Leicester. http://www.le.ac.uk/education/resources/SocSci/possum.html. diakses pada 26 Mei 2009
[8] http://www.newadvent.org/cathen/11257a.htm diakses pada 26 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar