Selasa, 02 Juni 2009

Feminisme: Diskursus Ilmiah Ilmu Hubungan Internasional?
Robin Riwanda Mandagie, 070710174

“Suami-suami kasihilah istrimu, istri-istri taatilah suamimu”
-The Letter of Paul to the Church of Ephesus

Feminisme sebagai salah satu gerakan “kritis” terhadap “pembelengguan yang ada tentu seperti teori-teori alternatif lainnya dipandang sebagai sebuah gerakan pinggiran yang oleh beberapa pihak ingin dihapuskan diskursus ilmiah mengenai pembahasan pembebasan atau emansipasi wanita. Bahkan dari beberapa orang yang ingin menghapus gerakan feminisme dan perkembangan diskursusnya dalam ranah sosial adalah para wanita. Sebut saja Camille Paglia dan Christina Hoff Sommers yang oleh para feminis di “cap” sebagai orang-orang anti feminisme.[1] Tetapi meski banyak juga gerakan-gerakan yang menentang feminisme, dalam kenyataanya feminisme berkembang menjadi suatu paham dan bahkan gerakan yang secara perlahan mengubah struktur sistemik dari world system dalam era kontemporer ini. Peran dan kesempatan bagi wanita dalam berbagai posisi karir dan jabatan semakin luas oleh karena pertimbangan emansipasi wanita ini. Esai ini akan membahas empat aspek penting feminism dalam ranah Ilmu Hubungan Internasional. Pertama adalah asumsi apa saja yang mendasari gerakan feminisme ini, kedua adalah bagaimana kaum feminisme mendapatkan emansipasi politik dalam sistem dunia yang menurut para feminis adalah sistem dunia yang maskulin,[2] yang ketiga adalah bagaimana feminisme mempengaruhi pluralitas dalam aktor-aktor hubungan internasional, dan yang terakhir adalah bagaimana feminisme menciptakan suatu perdamaian dan kerjasama, dan apakah feminisme menawarkan “jalan keluar yang solutif mengenai permasalahan ini.

Asumsi Dasar Feminisme
Seperti pemikiran, ideologi, dan teori lainnya dalam diskursus Ilmu Hubungan Internasional, feminisme tentu memiliki asumsi-asumsi dasar ideologinya yang mendasari pergerakan-pergerakan daripada semangat emansipatoris wanita. Asumsi dasar yang melandasi pergerakan dan ideologi dari feminisme pada intinya sama dengan teori-teori pinggiran lainnya, yaitu dengan semangat emansipatoris ingin membebaskan “wanita” dari “belenggu” yang selama ini terkonstruksi secara sosial maupun struktural bahwa wanita adalah subordinasi dari pria, menyamaratakan wanita dengan pria.[3] Asumsi ini adalah asumsi yang masih sangat umum dalam pemikiran dasar feminisme. Dalam perkembangan diskursus mengenai feminisme, timbul berbagai macam varian dari feminisme itu sendiri yang didasari oleh berbagai pemikiran dan konstruksi psikologis dari para feminist. Oleh karena itu feminisme memunculkan berbagai macam aliran dari feminisme seperti sosialis-marxis feminisme yang lebih menekankan pada eksploitasi wanita sebagai obyek eksploitasi oleh para pria.[4] Gerakan ini mengusahakan pembebasan wanita dari eksploitasi pria. Kemudian ada juga yang disebut sebagai feminisme posmodern yang dalam asumsinya mengkritik “eksistensi” wanita yang tersubordinasikan melalui metode pembacaan teks dan bahasa dengan menggunakan metode genealogi dan dekonstruksi dalam mencari dan membedah konstruksi wanita yang secara sosial termajinalkan.[5] Masih banyak varian-varian feminisme yang dalam perkembangannya menggunakan teori-teori lain dalam memperkuat asumsinya mengenai emansipasi wanita.

Emansipasi Politik Bagi Feminism
Dalam konstruksi sosial pada umumnya, wanita sebagai subordinasi dari pria sangat dilarang dalam menduduki posisi-posisi penting atau posisi yang mengatasi pria. Hal inilah yang ingin di “dobrak” oleh kaum feminis yang dianggap mereka sebagai pembelenggu. Gerakan-gerakan feminisme boleh bertepuk tangan dan bersenang hati ketika Margareth Tatcher terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris, Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia, Gloria Macapagal Arroyo sebagai Presiden Filipina, dan banyak lagi posisi-posisi penting bagi perempuan yang dalam berbagai keputusannya dapat merubahkan dunia. Hal inilah yang menjadi tujuan utama feminisme dalam emansipasi atau pembebasan secara politik bagi para wanita, dimana secara politis feminisme memperjuangkan posisi-posisi yang dahulu hanya dapat diduduki oleh pria dan akan sangat tabu jika yang menduduki posisi-posisi tersebut adalah wanita. Perjuangan-perjuangan seperti ini dapat kita lihat dalam perjungan RA. Kartini dalam memperjuangkan wanita Indonesia. Meskipun banyak pihak yang menilai bahwa perjuangan Kartini bukanlah perjuangan feminisme karena Kartini tidak memperjuangkan kesamarataan wanita dengan pria, hanya memperjuangkan wanita Indonesia sebagai ibu-rumah tangga yang baik. Tetapi dalam suatu sisi perjuangan Kartini dapat juga dinilai sebagai perjuangan yang dalam esensi dan substansinya banyak diinspirasikan oleh gerakan-gerakan dan ideologi feminisme didalamnya.[6]

Pluralisme dalam Aktor Hubungan Internasional
Lantas apa dampak dan signifikansi serta relevansi dari feminisme terhadap Ilmu Hubungan Internasional? Dapatkah teori dari pergerakan sosial ini dijadikan suatu teori yang dapat digunakan untuk membantu menganalisis dan mengobservasi fenomena-fenomena hubungan internasional? Jika ditelusuri lebih lanjut dan dibedah secara mendalam, hubungan internasional yang menjadi diskursus dalam Ilmu Hubungan Internasional pada era klasik maupun kontemporer, memiliki dan tetap berada dalam satu paham dan teori dominan yaitu adalah realisme dan dalam perkembanganya neorealisme. Paham realisme dan turunannya neorealisme dalam memandang sistem hubungan internasional menggunakan kacamata sistem Westphalian, yang dimana state adalah aktor utama dalam hubungan internsional, dengan wacana-wacana yang dipenuhi dengan isu-isu mengenai perang dan konflik. Jika didalami, sistem dan isu yang dibawa oleh realisme sangat bersifat maskulin. Negara, konflik, kepentingan, dan perang adalah isu-isu yang sangat berbau maskulinitas. Hal inilah yang ingin didobrak oleh kaum feminis. Mereka menginginkan adanya suatu pembebasan dari sistem internasional yang seperti ini dengan mengakui adanya aktor-aktor lain dalam hubungan internasional. Feminisme yang mendukung pembebasan dalam hal ini adalah gerakan feminisme yang dikenal dengan terminologi feminisme liberal yang dimana feminisme liberal (dalam kajian hubungan internasional) menginginkan pembebasan dari Westphalian System dengan mengakui adanya pluralitas dalam aktor-aktor hubungan internasional.[7]

Peace n’ Cooperation Bagi Feminisme
Feminisme dalam diskursus mengenai perdamaian dan kooperasi telah berhasil mendekonstruksi pemikiran-pemikiran yang dominan didalamnya. Pemaknaan perdamaian dan kerjasama bagi kaum feminis tentu sangat berbeda dari pemaknaan kaum mainstream terutama yang berhaluan pada realisme. Cara-cara feminis dalam penyelesaian konflik pun tentu berbeda dengan orang realis. Ketika orang realis menghalalkan perang dalam tujuan mencapai perdamaian, tentu orang feminis memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal tersebut. Feminisme dalam pencapaian perdamaian dan kerjasama lebih cenderung pada hal-hal kecil yang secara perhitungan mainstream hubungan internasional terlalu mikro untuk dijadikan suatu bahan pertimbangan. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari sifat wanita/feminis yang cenderung pada anti-militerisme, karena ketika wanita berbicara, secara psikoanalisis, yang menentukan pembicaraan, tindakan dari seorang wanita adalah perasaan dari wanita. Hal-hal tersebut meliputi penentangan kaum feminisme pada maskulinitas realisme dan neorealisme.[8]

Personal Opinion
Sebagai seorang yang menganut agama semitik, tentu pendapat saya tentang feminisme terkesan sedikit bias dengan kepercayaan. Tetapi dalam hal ini saya ingin membagikan pandangan pribadi mengenai feminisme. Sejak semula manusia diciptakan, subordinasi wanita terhadap pria sudah ada terlebih dahulu. Dalam perspektif agama semitik pertamakali Tuhan menciptakan manusia adalah Adam (dalam bahasa ibrani berarti manusia laki-laki) kemudian dari tulang rusuk Adam terciptalah seorang wanita bernama Hawa yang dimaksudkan oleh Tuhan sebagai “pembantu” pria. Kepercayaan tradisional agama semitik inilah yang mengkonstruksikan bahwa Wanita adalah subordinasi pria. Agama Islam memperbolehkan seorang pria menikah dengan empat wanita. Tetapi tidak dengan wanitanya. Agama Kristen seperti yang saya kutip di bagian paling atas esai ini mengindikasikan bahwa wanita harus tunduk terhadap pria, dan seorang pria hanya diwajibkan untuk mengasihi istrinya. Permasalahannya adalah kedua agama ini adalah agama yang memiliki penganut paling besar di dunia. Hal ini tentu mengkonstruksikan dalam subyektivitas mereka para penganut dua agama besar tersebut bahwa subordinasi wanita terhadap pria adalah sebuah konviksi agama dan tidak dapat didekonstruksikan. Meskipun dalam pemikiran ilmiah mereka kritis dalam segala sesuatu, tetapi kebanyakan dari penganut dua agama ini kekeritisanya terbentur dengan konviksi agama yang tidak mungkin mereka abaikan.






Sumber:

Stacey, Judith (2000). Is Academic Feminism an Oxymoron?. Signs 25 (Feminisms at a Millennium)
Messner, Michael A.(1992). Power at play: sports and the problem of masculinity. Boston: Beacon Press
http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=26437 diakses pada 3 Juni 2009
Ehrenreich, Barbara.(1976) What is Socialist Feminism. WIN Magazine http://dx.doi.org/10.1080/09699089800200034 diakses pada 3 Juni 2009
Butler, Judith(1999). Gender trouble: feminism and the subversion of identity. New York: Routledge
http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/10609 diakses pada 3 Juni 2009
Hooks, Bell .(1984). Feminist Theory: From Margin to Center Cambridge, MA: South End Press
Pollock, Griselda .(2001). Looking Back to the Future: Essays on Art, Life and Death. G&B Arts.

[1] Judith Stacey (2000). Is Academic Feminism an Oxymoron?. Signs 25 (Feminisms at a Millennium)
[2] Michael A Messner.(1992). Power at play: sports and the problem of masculinity. Boston: Beacon Press
[3] http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=26437 diakses pada 3 Juni 2009
[4] Barbara Ehrenreich.(1976) What is Socialist Feminism. WIN Magazine http://dx.doi.org/10.1080/09699089800200034 diakses pada 3 Juni 2009
[5] Judith Butler (1999). Gender trouble: feminism and the subversion of identity. New York: Routledge
[6] http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/10609 diakses pada 3 Juni 2009
[7] Bell Hooks.(1984). Feminist Theory: From Margin to Center Cambridge, MA: South End Press
[8] Griselda Pollock.(2001). Looking Back to the Future: Essays on Art, Life and Death. G&B Arts.

Selasa, 26 Mei 2009

Postmodernism in International Relations

Post
-modernism: Genealogy of Neorealism, Intertextual International Relations, Deconstruction of Diplomacy, Anti-Positivism, and Ontologysm
Robin Riwanda Mandagie, 070710174
Prolog
Judul dari esai saya kali ini sengaja saya buat sedikit “aneh” karena kali ini bahasan dalam teori Ilmu Hubungan Internasional adalah mengenai posmodernisme. Mengapa demikian? Karena dengan penulisan judul seperti demikian berarti penerapan posmodernisme itu sendiri, dan dengan tulisan seperti itu akan dapat kita mengerti secara jelas mengenai posmodernisme, karena penulisan judul esai saya diatas menggunakan prinsip-prinsip posmodernisme. Lantas apakah posmodernisme itu? Sebelum masuk dalam bahasan-bahasan sub dari posmodernisme seperti genealogi, intertextual, dekonstruksi, anti-positivisme, dan ontologisme, ada baiknya dulu jika kita mengerti asumsi-asumsi apa saja yang mendasari posmodernisme terbentuk.
Terminologi “pos” dalam kata posmodernisme tentu memiliki makna yang berbeda namun sedikit berbeda jika kita sandingkan dengan “neo”, dan “anti”. Jika kita berbicara mengenai neo, maka kita akan berbicara hasil dari rekonstruksi suatu teks atau pembaruan-pembaruan tertentu dalam suatu terminologi tertentu. Atau jika kita berbicara mengenai anti, maka tidak lain bahasan akan mengarah pada antitesis dari terminologi yang mendapatkan prefix anti. Tetapi jika pembahasan masuk dalam terminologi “pos” atau post maka tidak semerta-merta berbicara mengenai “anti” ataupun “rekonstruksi”. Tetapi pembahasan mengenai “pos” terutama dalam terminologi posmodernisme, maka kita akan berbicara mengenai “dekonstruksi” dari terminologi modernisme. Berbicara mengenai dekonstruksi berarti secara otomatis berbicara mengenai kritik yang bersifat something beyond knowledges, atau sesuatu yang berada diluar pemahaman kita tentang ilmu pengetahuan, bukan sekedar antitesis ataupun hasil dari rekonstruksi. Lantas apa itu yang disebut dengan modernisme? Modernisme menurut Michel Levin adalah segala sesuatu dapat dijelaskan berdasarkan kenyataaan bahwa manusia menjadi pusat dan ukuran dari semua ‘ada’ atau beings.[1] Jadi jika terminologi “pos” dan “modernisme”, maka secara etimologi posmodernisme memiliki arti bahwa posmodernisme adalah suatu bentuk kajian yang merupakan hasil dekonstruksi terhadap modernisme meng-genealogikan modernisme berdasarkan inter(kon)tekstualitas dan tekstualitas yang ada dalam modernisme itu sendiri. Merujuk pada pemikiran Levin yang beranggapan bahwa ukuran dari segala sesuatu adalah manusia, maka posmodernisme menganggap tidak ada ukuran atas segala sesuatu seperti yang dikatakan oleh perspektif archimedean yang beranggapan bahwa there is no truth.[2]
Genealogi Neorealisme
Genealogi dalam bahasan posmodernisme di Ilmu Hubungan Internasional tentu memiliki esensi yang berbeda dengan genealogi dalam artian umum terlebih genealogi dalam artian natural sciences. Berdasarkan etimologi dari genealogi itu sendiri adalah berasal dari dua kata bahasa yunani γενεά, genea, yang berarti “turunan” dan λόγος, logos, yang dapat diartikan sebagai “ilmu pengetahuan”. Jika etimologi dari genealogi ini dikembangkan secara etimologis dan dengan pemikiran genealogi menurut Richard Davetak, Genealogi mempelajari asal-muasal dari segala sesuatu (sejarah dari sesuatu) dengan pertimbangan kontekstualitas yang tinggi, yaitu bagaimana nilai-nilai yang ada disekitar penulis sejarah mengkonstruksikan pemikirannya sehingga berpengaruh pula terhadap tulisannya.[3] Nilai-nilai konstruktivisme seperti ini menurut Davetak, dalam memahami genealogi dari suatu term maka perlu pendekatan yang multi-perpektif, karena bagi seorang posmodernis, perspektif adalah hal yang paling esensial. [4] Lantas apa hubunganya dengan meng-genealogikan neorealisme? Jika berbicara mengenai hubungan internasional, maka kontribusi dari metode posmodernisme yang disebut dengan genealogi adalah mencoba mengkaitkan antara klaim terhadap ilmu-pengetahuan, dengan klaim terhadap kekuasaan (power) dan otoritas yang berhubungan erat dengan neorealisme. Dengan metode genealogi maka akan dapat diketahui bahwa neorealisme lahir dari hasil rekonstruksi realisme dengan ditambah bumbu-bumbu sistemik (strukturalisme) didalamnya. Maka secara genealogis, neorealisme lahir dari dua perspektif yang berbeda yaitu realisme dan strukturalisme, yang dimana realisme dan strukturalisme memiliki genealogi sendiri yang jika ditarik asal-muasalnya tentu akan menjurus pada nilai-nilai yang ada di lingkungan konseptor dari realisme dan strukturalisme.
Intertekstual Hubungan Internasional
Tekstualitas adalah hal yang sangat esensial dalam posmodernisme Ilmu Hubungan Internasional. Metode pembacaan teks seperti dekonstruksi dan pembacaan ganda berasal dari intertekstuaitas dalam suatu konsep. Sebelum mempelajari mengenai intertekstualitas dalam Ilmu Hubungan Internasional, perlu diketahui dulu terminolgi “teks” dalam permasalahan ini. Teks dalam posmodernisme (khususnya Derrida) adalah sesuatu yang beyond dari apa yang kita ketahui sekarang ini seperti literatur, atau pembahasan dalam ruang lingkup tertentu. Dalam konsepsi Derrida, yang dimaksudkan dengan “teks” adalah sebuah obyek ontologi yang sangat luas. Bahkan menurut Derrida, dunia (internasional) itu sendiri adalah sebuah teks.[5] Bagi Derrida untuk mencapai “dunia internasional” sebagai ontologi dari tekstualitas itupun hanya dapat dicapai dengan menginterpretasikan hasil interpertasi lebih dari sekedar menginterpertasi dari sebuah teks yang sudah ada. Hal ini disebutkan sebagai textual interplay atau jika dikonstruksikan ulang dapat juga diterminlogikan sebagai permainan intertekstual. Metode dari tekstual interplay ada dua yaitu dekonstruksi dan pembacaan ganda atau double reading. Derrida seringkali dijuluki sebagai The Father of Deconstruction, karena tak dapat dielakkan lagi bahwa yang pertamakali menggunakan terminologi dekonstruksi sebagai metode pembacaan teks dengan pertimbangan intertekstualitas dan kontekstualitas adalah Derrida. Banyak teoritisi posmodern lainnya yang merujuk pada konsepsi Derrida ketika menggunakan metode dekonstruksi.
Dekonstruksi Diplomasi
Diplomasi seperti yang diketahui secara umum dalam Ilmu Hubungan Internasional konvensional adalah sebuah lingkup dimana terjadi interaksi antara state dengan state lainnya yang dimana dalam proses diplomasi itu sendiri terdapat negosiasi, lobbying, ramah tamah, kegiatan protokoler, dll. Tetapi jika kita mengaitkannya dengan metode dekonstruksi maka akan terjadi sebuah genealogi terhadap diplomasi. Dengan mendekonstruksi diplomasi akan kita temi dua oposisi yang bersifat binary dalam diplomasi itu sendiri. Derrida seringkali menyebutkan bahwa oposisi biner dari suatu konsep sebagai parasit struktural. Mengapa demikian? Karena oposisi biner dari suatu konsep tentu lahir dari konsep itu sendiri. Bukan saja lahir dari konsep itu sendiri, tetapi opososisi biner dari suatu konsep tersebut, seperti namanya, menjadi oposisi dari konsep tersebut. Dikaitkan dengan diplomasi, dekonstruksi sebagai metode pembacaan teks tentu akan menimbulkan efek “pisau bedah” terhadap konstruksi diplomasi dari jaman dulu sam[ai era kontemporer seperti sekarang ini. Dekonstruksi sebagai metode pembacaan teks tentu tidak dapat dilepaskan dari genealogi. Dengan mendekonstruksi struktur yang ada dalam diplomasi akan tercipta sesuatu yang baru dari diplomasi, tentu tidak murni dari hasil dekonstruksi, mengingat dekonstruksi anti terhadap finalitas.[6]
Anti-Positivism
Terminologi anti-positivisme dalam kondisi tertentu ada sedikit perbedaan dengan terminologi pos-positivisme. Seperti penjelasan pada prolog, prefix anti adalah antitesis sedangkan pos adalah terminologi yang terkonduksi atas kritik terhadap suatu konteks dengan pemahaman yang beyond (kata kunci dari term pos) dari terminologi tersebut. Anti positivisme sangat melekat dalam konstruksi pemikiran teoritisi posmodernisme. Anti positivisme menekankan pada “gerakan-gerakan” anti kemapanan dimana menurut pemikir-pemikir anti-positivisme ilmun sosial adalah bukan sesuatu yang dapat disebutkan sebagai ilmu. Mengapa demikian? Karena menurut pemikiran anti positivisme fenomena sosial tidak dapat diukur dan terstrukturisasi, karena hal ini sangat berhubungan dengan subyektivitas manusia. Meskipun penelitian-penilitian sosial dilakukan sesuai dengan standar ilmiah, tetapi tetap nilai-nilai yang terkonstruksi dalam pikiran manusia akan mempengaruhi tema apa yang dipilih oleh seorang peneliti, metode apa, teori apa, dan hasil yang seperti apa. Maka dari itu para pemikir anti positivis berargumen bahwa manusia adalah makhluk yang subyektif, maka dari itu penelitian tidak dapat bersifat obyektif.[7]
Ontoliogisme
Menurut ensiklopedia (dan subyektifitas, serta perspektif) Katolik, Tuhan dan ide-ide mengenai keTuhanan adalah hal pertama yang dijadikan referensi jika membicarakan hal-hal mengenai keilmuan. Jika tidak sinergis dengan hal-hal mengenai keTuhanan maka hal tersebut tidak dinilai sebagai suatu yang ilmiah Ontologism is an ideological system which maintains that God and Divine ideas are the first object of our intelligence and the intuition of God the first act of our intellectual knowledge.[8] (penekanan ditambahkan). Tetapi jika disinergikan dengan filosofi posmodernisme, tentu posmodernisme memiliki ontologisme yang berbeda dengan pemikiran bias Katolikisme. Keunggulan utama dari posmodernisme adalah ontologisme posmodernisme yang begitu luas. Lantas apa arti ontologisme bagi posmodernisme? Ontologi posmodernisme tentu tidak bermuara pada hal-hal yang divine seperti orang-orang relijius Katolik. Ontologi posmodernisme bermuara pada sejauh mana suatu ruang lingkup atau obyek kritik mempunyai potensi kritik. Singkatnya ontologisme posmodernisme adalah ontologi dari posmodernisme itu sendiri. Satu hal yang patut diketahui adalah adalah posmodernisme sangat kuat dalam hal ontologi, dan juga mungkin metodologi. Tetapi kelemahan dari posmodernisme adalah aksiologi yang lemah mengingat posmodernisme adalah salah satu filosofi yang anti-finalitas. Karena bagi posmodernisme jika posmodernisme mencapai suatu finalitas, maka posmodernisme akan kembali menjadi sesuatu yang moderen, dan terminologi pos tidak dapat digunakan kembali.

[1] Michel Levin.(1997). Why Race Matters: Race Differences and What They Mean, Praeger Publishers.
[2] Richard Davetak. (2004). Postmodernism. Artikel Kuliah Teori Hubungan Internasional.
[3] Ibid. 2
[4] F. Nietzsche. (1969). On the Genealogy of Morals.Second Essay, Section 17. New York
[5] Jacques Derrida. (1988). Limited Inc. Evanston. Halaman 148
[6] Jonathan Culler.(1999). On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism
[7] Beth Perry,(1999), Summary of Positivist and Anti-positivist. Positions the Social Science PGCE group, University of Leicester. http://www.le.ac.uk/education/resources/SocSci/possum.html. diakses pada 26 Mei 2009
[8] http://www.newadvent.org/cathen/11257a.htm diakses pada 26 Mei 2009

Minggu, 24 Mei 2009

Dinamika Regionalisme Timur Tengah

Dinamika Regionalisme Timur Tengah
Robin Riwanda Mandagie


prolog
Salah satu kawasan yang memiliki anomali atau keanehan yang menyebabkan adanya terminologi “pengecualian” atau exception adalah kawasan timur tengah, atau yang sering disebut sebagai middle east. Kawasan ini sering disebut sebagai kawasan yang dimana realisme dipandang sebagai suatu teori yang paling pantas digunakan untuk mendeskripsikan keadaan dan sirkumstansi politik dan kepentingan-kepentingan ekonomi didalamnya.[1] Esai ini akan menjelaskan titik-titik permasalah apa saja yang ada di timur tengah dan bagaimana usaha-usaha kaum idealis timur tengah dalam membangun perdamaian di timur tengah. Untuk mengawali bahasan esai kali ini, secara etimologi akan dideskripsikan bagaimana terminologi timur tengah menjadi suatu hal yang baku jika kita merujuk pada negara-negara arab.

Etimologi “Timur Tengah”
Membahas mengenai hal ini secara umum dapat kita ketahui bahwasannya dunia memakai frase “timur tengah” untuk menunjuk pada negara-negara yang ada di jazirah arabia. Dengan menggunakan metode dekonstruktif terhadap pemahaman teks dengan merujuk pada konteks yang ada, akan dapat kita ketahui bahwa tekstualitas “timur tengah” lahir dari kontekstualitas yang ada pada saat itu. Terminologi timur tengah menjadi populer dikalangan bangsa Eropa ketika Alfred Thayer Mahan menggunakan terminologi ini untuk menunjuk pada negara-negara arab. Hal ini bertamabah populer ketika para official Inggris yang ada di India juga menggunakan terminologi ini dalam merujuk kepada Timur Tengah. Kritik pun bermunculan pada terminologi “timur tengah” ini karena banyak pihak yang menilai bahwa terminologi timur tengah ini bersifat eurosentris.

Dinamika Regionalisme Timur Tengah
Dalam seminar dan workshop mengenai timur tengah yang diadakan oleh Mediterranean Social and Politic Research dengan pembicara oleh Matteo Legranzi (Univeristas Oxford, Inggris) dan Cilja Harders (Universitas Ruhr, Jerman), dapat diambil suatu poin bahwa kebangkitan regionalisme yang terjadi pada kawasan timur tengah ini, lebih banyak terjadi pada organisasi-organisasi sub-regional.[2] Regional identity awarness juga banyak bermunculan di timur tengah, dan organisasi-organisasi sub-regional-lah yang mengalami banyak kemajuan. Organisasi-organisasi seperti Gulf Cooperation Council (GCC). GCC adalah salah satu organisasi sub-regional yang mengalami kemajuan yang sangat pesat, dan merupakan organisasi regional yang paling banyak mendapatkan sorotan dan bahkan bargaining position yang kuat dalam sistem internasonal, dan juga dinilai sebagai organisasi regional inisiatif yang paling sukses.[3] Tujuan utama terbentuknya GCC (1981) pada saat itu dapat kita lihat sebagai respon preventif terhadap gejolak-gejolak perang yang terjadi pada saat itu seperti revolusi Iran, perang Irak-Iran, dan perang teluk. Kooperasi regional oleh negara-negara yang berada disekitar teluk Arab itu memang ditekanan dalam penjagaan keamanan regional daerah teluk.
Meskipun demikian, terdapat pula intensi dan tendensi pada GCC untuk bergerak kearah yang progresif, yaitu mengembangkan kerjasama di bidang ekonomi pula. Hal ini terlihat dari negara-negara anggota GCC yang lebih “mengalihkan” pandanganya terhadap Gulf Organization for Industrial Consulting (GOIC) yang terbentuk lebih dulu, yaitu pada 1976. Dengan meredanya ketegangan yang ada pada daerah teluk, tidak mengherankan jika GCC yang terbentuk dengan kepentingan keamanan lebih banyak dialihkan pada GOIC yang lebih ditujukan pada kepentingan ekonomi.
Salah satu organisasi sub-regional timur tengah yang terlihat “eksist” (karena banyak menjalin hubungan dengan negara-negara Eropa barat) adalah Arab Maghreb Union (AMU). AMU adalah salah satu organisasi sub-regional yang terbentuk pada tahun1989 dengan motivasi yang hampir sama dengan GCC yaitu sebagai tindakan preventif regional terhadap permasalahan keamanan (konflik sahara barat). Tetapi berbeda dengan GCC yang dalam kooperasi ekonominya lebih “dialihkan” pada GOIC, AMU menangani kerjasama-kerjasama yang lebih kompleks daripada GCC. Bukan hanya permasalahan keamanan, tetapi juga integrasi ekonomi dan integrasi secara sosio-kultural.[4] Tetapi konflik pun kerap terjadi dalam internal AMU sendiri. Anggota-anggota AMU juga tidak terlepas dari konflik kepentingan dan mengarah pada pertanyaan “siapakah yang menjadi hegemon?”. Hal ini terimplikasikan oleh konflik yang pernah terjadi pada Algeria dengan anggota AMU lainnya. Pada tahun1994, Algeria berusaha untuk memindahakan kepresidenan AMU ke Libya. Tentunya hal ini menyebabkan ketegangan diplomatik antara Algeria dengan anggota AMU lainnya terutama Maroko dan Libya itu sendiri.
Meskipun organisasi-organisasi sub-regional dipandang lebih banyak memiliki beberapa aspek yang secara signifikan progresif, kita tidak dapat semerta-merta mengalihkan pandangan kita terhadap organisasi regional yang ada di timur tengah. Arab League (AL) adalah salah satu organisasi regional tertua yang ada di timur tengah (terbentuk pada 1945). AL adalah organisasi regional yang turut berjuang dalam kemerdekaan palestina[5] dengan demikian hal ini menjadikan Israel sebagai salah satu musuh dari AL. Tetapi dalam prakteknya kinerja AL kurang begitu terasa dalam berbagai hal, termasuk dalam usahanya memerdekakan Palestina. Suara dan kekompakan dari AL baru begitu terasa ketika akhir-akhir ini Israel melancarkan serangan balasan roket Hammas dalam Operation Cast Lead (Hebrew: מבצע עופרת יצוקה‎) pada tanggal 26 Desember 2008.

Sumber Permasalahan Timur Tengah
Ada dua hal utama yang menjadi perhatian dalam kawasan timur tengah ini baik secara regional maupun secara internasional. Dua hal utama penyebab konflik yang banyak terjadi di timur tengah adalah, pertama, permasalahan minyak. Sedangkan yang kedua adalah perebutan kota Jerusalem diantara ketiga kelompok yang mengatasnamakan agama samawi (Judaisme, Kristenan, & Islam). Dua permasalahan ini telah menjadi bahasan yang sangat kontroversial karena kedua masalah inilah yang menjadi dasar konflik yang berkelanjutan mulai dari dua dekade ini. Jika kita menelusuri dua sumber permasalahan ini dengan metode pembacaan teks dengan pertimbangan kontekstual maka akan dapat kita ketahui bahwasannya permasalahan mengenai minyak di jazirah arabia dan keseluruhan timur tengah dimulai sejak keberhasilan Nova Scotian Abraham Pineo Gesner pada tahun 1854 dalam mengkonversikan minyak mentah menjadi kerosin (kerosene) dan ditemukannya sumber minyak yang besar pada jazirah arabia. Setelah berkembangnya peristiwa 1854, minyak menjadi salah satu komoditas yang menjadi perebutan negara-negara, baik besar maupun kecil.[6] Kepentingan-kepentingan negara-negara Eropa dan juga Amerika Serikat terhadap negara-negara produsen minyak yang ada di timur tengahpun meningkat secara drastis. Dengan intervensi-intervensi politik yang sering dilakukan Amerika Serikat terhadap negara-negara timur tengah menyebabkan adanya sentimen-sentimen anti Amerika yang timbul pada masyarakat timur tengah. Ditambahkan dengan konviksi agama, masyarakat timur tengah menajdi semakin anti dengan Amerika Serikat oleh karena intervensi yang sering dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap negara-negara timur tengah mengenai permasalahan kepentingan minyak.
Permasalahan kedua yang menjadi permaslahan utama dalam dinamika dimensi keamanan yang ada dalam problematika timur tengah adalah Jerusalem. Mengapa Jerusalem? Jerusalem menjadi obyek perebutan dari Israel dan negara-negara arab oleh karena Jerusalem mempunyai beberapa sisi strategis jika Jerusalem jatuh kedalam salah satu pihak. Merujuk pada kerangka berpikir Mackinder mengenai heartland, dapat dianalogikan bahwa heartland disini adalah Jerusalem (Meskipun dalam teori Mackinder heartland merupakan salah satu bagian dari Eropa timur). Jerusalem memiliki posisi strategis karena Jerusalem merupakan pintu gerbang antara Eropa dan Timur Tengah. Meskipun secara geografis Jerusalem termasuk dalam kawasan timur tengah, tetapi dengan kondisi geografis yang mengkondisikan Jerusalem berada diantara dua “spesies” kultur yang jauh berbeda antara kultur Eropa dan Arab, maka secara kultural, Jerusalem memiliki kekayaan kultural yang besar. Selain itu, kondisi Jerusalem yang terletak dekat dengan teluk mediterania, secara historis dan kontemporer, Jerusalem memiliki asupan perdagangan yang cukup besar pula. Secara klasik (jaman medieaval) dari perspektif Eropa, dalam menguasai jazirah arabia, maka sebagai pintu masuk harus menguasai Jerusalem terlebih dahulu. Sedangkan dari perspektif negara-negara timur tengah, untuk menguasai eropa, maka harus melalui Jerusalem terlebih dahulu. Selain faktor geopolitik, permasalahan ideologi agama yang ada di Jerusalem juga mempengaruhi negara-negara dalam memperebutkan Jerusalem (Karena Jerusalem merupakan pusat perpaduan okupasi dari 3 agama besar). Tidak mengeherankan jika penguasa-penguasa jaman dahulu (hingga sekarang) memperebutkan Jerusalem demi alasan politis.
Perjuangan utopis Israel dan Palestina dalam mencapai kesepakatan perdamaian pun sampai sekarang tak kunjung mencapai suatu tahap solusi. Pada tahun 1993, Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin berhasil mengadakan suatu proses dalam normalisasi hubungan antara Israel dengan Palestina. Hal ini terlihat dari Israel-Palestine Liberation Organization letters of recognition yang adalah sebuah seri dari surat menyurat resmi antara Yitzhak Rabin dengan Yasir Arafat, Chairman dari Palestine Liberation Organisation (PLO).[7] Tetapi setelah semenjak Yitzhak Rabin terbunuh pada 4 November 1995, proses perdamaian antara Israel dan Palestina hanya tinggal kenangan saja.

Sumber:
Schulz, Helena Lindholm & Michael Schulz. (1996). The Middle East - exception or embryonic regionalism?
Department of Peace and Development Research. Goteberg University.
http://www.eui.eu/RSCAS/Research/Mediterranean/mspr2006/pdf/WS01.pdf. diakses pada 24 Mei 2009

Aarts, P. (1997). The Middle East: a region without regionalism or the end of exceptionalism? Draft text for workshop on `The Political Economy of Regionalisation', University of Amsterdam, 18-19 December 1997.
Aggad, Faten. "The Maghreb Union: Will the Haemorrhage Lead to Demise?" African Insight. April 6, 2004.
http://avalon.law.yale.edu/20th_century/arableag.asp diakses pada 25 Mei 2009
Hyne, Norman J. (2001). Nontechnical Guide to Petroleum Geology, Exploration, Drilling, and Production. PennWell Corporation.
http://www.usip.org/library/pa/israel_plo/oslo_09131993.html diakses pada 25 Mei 2009

[1] Helena Lindholm-Schulz & Michael Schulz. (1996). The Middle East - exception or embryonic regionalism?
Department of Peace and Development Research. Goteberg University.
[2] http://www.eui.eu/RSCAS/Research/Mediterranean/mspr2006/pdf/WS01.pdf. diakses pada 24 Mei 2009

[3] P. Aarts (1997). The Middle East: a region without regionalism or the end of exceptionalism? Draft text for workshop on `The Political Economy of Regionalisation', University of Amsterdam, 18-19 December 1997.
[4] Faten Aggad. "The Maghreb Union: Will the Haemorrhage Lead to Demise?" African Insight. April 6, 2004.
[5] http://avalon.law.yale.edu/20th_century/arableag.asp diakses pada 25 Mei 2009
[6]Norman J Hyne. (2001). Nontechnical Guide to Petroleum Geology, Exploration, Drilling, and Production. PennWell Corporation.
[7] http://www.usip.org/library/pa/israel_plo/oslo_09131993.html diakses pada 25 Mei 2009

Jumat, 22 Mei 2009

Problematika Regionalisme Afrika: Konflik Sudan di Darfur dan Collision of Interest dari Negara-Negara Core

Problematika Regionalisme Afrika: Konflik Sudan di Darfur dan Collision of Interest dari Negara-Negara Core
Robin Riwanda Mandagie


Prolog
Benua dan kawasan yang memiliki negara-negara low developing terbanyak adalah Afrika. Sejak awal kemerdekaan, konflik terus menerus terjadi di kawasan yang secara sumber daya alam, memiliki daya yang cukup besar ini. Konflik-konflik yang terjadi di negara-negara Afrika, tentu berhubungan dengan berbagai macam faktor seperti permasalahan legitimasi pemerintahan, perbedaan threat perspective, dan konsepsi peran nasional untuk keamanan regional secara umum. Dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keamanan regional di Afrika seperti yang sudah di elaborasi di atas, ditambah dengan kekayaan sumber daya alam Afrika yang begitu hebat, maka tidak heran sering terjadi pergesekan-pergesekan kepentingan dari negara-negara non-Afrika, yaitu negara-negara core seperti Amerika Serikat, Cina, Inggris, dll.
Dalam esai kali ini akan dibahas mendalam secara khusus pada suatu negara tertentu yaitu Sudan, sebagai contoh nyata akan bagaimana negara-negara core menggunakan isu-isu ketidakstabilan politik dan keamanan di negara-negara Afrika dalam memperoleh kepentingan-kepentingannya yang dalam kasus di Sudan adalah kepentingan masalah energi, yaitu minyak.
Sebelum era national revival yang terjadi di negara-negara Afrika dengan ideologi Pan-Africanismnya, Sudan masih ada dibawah pengaruh Mesir yang mulai menganeksasi Sudan pada tahun 1899, yang dimana Mesir pada saat itu juga masih ada dibawah pengaruh imperialisme oleh Inggris yang mulai masuk dan mengambil alih beberapa kepentingan pada tahun 1916, yaitu 17 tahun setelah salah satu negara protektoratnya (Mesir) mulai mengokupansi Sudan[1]. Sejak eksplorasi oleh pemerintah Inggris, dan Sudan secara De Facto dan De Yure merdeka (lebih tepatnya dilepaskan) dari Inggris pada tahun 1959, semakin banyak negara-negara yang mulai mengarahkan perhatiannya pada Sudan. Hal ini bertambah “ramai” ketika setelah dieksplorasi, ternyata di Sudan ditemukan sumber minyak yang cukup banyak dan hal ini tentu menarik perhatian banyak negara-negara industrial besar seperti Amerika Serikat dan Cina. Lantas bagaimana cara negara-negara ­core untuk memperoleh minyak yang ada di Sudan? Salah satu cara adalah dengan mengandalkan ketidakstabilan politik yang ada di Sudan. Contohnya adalah konflik “genocide” yang dituduhukan oleh International Criminal Court (ICC) kepada presiden rezim Janjaweed (milisi Arab), yaitu Presiden Omar Al-Bashir atas dugaan pembantaian masal terhadap 200.000 warga Darfur, dan menyebabkan jutaan warga Darfur untuk menungsi dan kehilangan tempat tinggalnya[2].

Konflik Darfur
Berbeda dengan beberapa civil war yang pernah terjadi di Sudan, konflik bersenjata yang terjadi di Darfur bukan disebabkan oleh permasalahan konflik tradisional Sudan yaitu konflik agama. Konflik yang tepatnya terjadi di Darfur ini disebabkan murni bukan atas konflik agama, tetapi konflik etnis yang disebabkan oleh beberapa faktor pendukung yang memberikan stimulus terhadap potensi-potensi konflik yang ada di Darfur.
Faktor utama penyebab pecahnya perang saudara di Darfur menyangkut dengan faktor-faktor survival bagaimana hidup di dalam realm Afrika yang sangat konfliktual. Konflik ini disebabkan oleh permasalahan dasar survival, yaitu kekeringan, overpopulation, dan desertifikasi[3]. Oleh karena tiga faktor ini, para nomaden pastoralis Baggara (dalam bahasa Arab Baqqara) mulai mencari persediaan air ke arah selatan. Di daerah di mana para nomaden Baggara itu berusaha mendapatkan persediaan airnya, terjadilah “gesekan” dengan penduduk asli yang mayoritas adalah bangsa Afrika berkulit hitam. Karena adanya akar-akar konflik dalam sentimentil etnis antara masyarakat Afrika berkulit hitam dengan nomaden Baggara yang merupakan bagian dari ras Arab, akhirnya konflik terbuka pun meletus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 dua kelompok bersenjata melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Sudan yang pada saat itu didominasi oleh etnis ras Arab. Dua kelompok pemebrontak itu adalah Justice and Equality Movement (JEM) dan Sudanese Liberation Army/Movement (SLA/SLM). Kekerasan-kekerasan kerap terjadi dari tahun tersebut sampai pada masa sekarang, dan hal ini menyebabkan instabilitas politik dan keamanan yang ada di Darfur.
PBB menyatakan bahwa korban yang disebabkan oleh konflik yang terjadi di Darfur berjumlah 200.000 sampai 500.000 orang. PBB juga menyatakan bahwa akibat konflik yang terjadi di Darfur, sekitar lebih dari 2.000.000 orang kehilangan tempat tinggalnya dan terpaksa mengungsi ke daerah teritorial Chad[4]. Oleh karena alasan pertimbangan kemanusiaan yang serius, maka ICC menetapkan bahwa tersangka utama dari konflik yang ada di Darfur adalah presiden Sudan, yaitu Presiden Omar Al-Bashir.

Kepentingan Yang Beradu: Smoothness of China’s Art of War & Hardness of America’s Neoconservatism
Setelah ditemukannya “hotspot” mengenai kandungan minyak yang terdapat pada laut merah yang merupakan bagian dari wilayah perairan Sudan, maka negara-negara core industrial seperti Amerika Serikat dan Cina mulai mengarahkan pandangan foreign policy-nya kepada Sudan. Dalam mencapai kepentingan minyak yang ada di Sudan, Cina memanfaatkan salah satu strategi Sun Tzu “是故百戰百勝,非善之善者也;不戰而屈人之兵,善之善者也” Yang berarti menang (gain) yang baik adalah menang tanpa peperangan (battle)[5].
Dengan mengadopsi strategi Sun Tzu dalam buku Art of War-nya, dalam mencapai kepentingan minyaknya di Sudan, Cina melakukan pendekatan yang halus terhadap pemerintah Sudan, dan berupaya bagi Sudan agar Presiden Omar Al-Bashir tidak sampai masuk dalam penghakiman oleh ICC. Oleh karena itu, Cina berupaya untuk menggandeng pemerintahan resmi Sudan dan mengupayakan (memanfaatkan) pula konflik yang Darfur agar diselesaikan dengan menawarkan diri menjadi mediasi antara pihak pemberontak dengan pemerintah. Dengan demikian, Cina akan mendapat “hati” Sudan, yang akan menghantar Cina untuk mendapatkan kesempatan untuk mengeksploitasi minyak secara dominan (saham Cina atas minyak yang ada di Sudan sebesar 40%) yang ada di laut merah daerah perairan Sudan[6]. Dalam pembelaan Cina terhadap dukunganya terhadap Sudan, di depan ICC, Cina mengatakan bahwa tidak baik jika terus menerus menekan pemerintah resmi Sudan, khususnya rezim Omar Al-Bashir. Dalam segi ini Amerika Serikat menuduh bahwa Cina tidak melakukan apa-apa (apatis) terhadap krisis kemanusiaan yang ada di Darfur, Sudan.
Bukan hanya Cina seorang diri yang memiliki kepentingan akan minyak yang ada di Sudan. Amerika Serikat juga mengindikasikan dalam perilakunya bahwa Amerika Serikat juga menginginkan minyak yang ada di Sudan. Tetapi kendalanya adalah Amerika Serikat tidak berhasil dalam merebut hati Sudan seperti Cina merebutnya. Beberapa hari sebelum serangan teroris pada Amerika Serikat pada peristiwa 11 September 2001, yaitu tepatnya pada tanggal 6 September 2001 Presiden George W. Bush mengirimkan utusannya yaitu John Danforth (seorang mantan senator Amerika Serikat) untuk membuat empat point kesepakatan dengan Sudan mengenai perang sipil 18 tahun yang melanda Sudan. Dalam tujuannya mengirimkan Danforth ke Sudan, Amerika Serikat menyimpan agenda yang sama dengan Cina, yaitu bagaimana merebut perhatian Sudan. Ternyata pada akhirnya Danforth gagal memenuhi tujuan utama itu[7]. Oleh karena itu, Amerika Serikat mengubah haluan strateginya. Amerika Serikat yang dahulu ingin melakukan pendekatan yang halus untuk mendapatkan bagian dari minyak Sudan kini “terpaksa” menggunakan cara-cara neokonservatif khas Amerika Serikat yaitu melakukan tindakan-tindakan “pre-emptive” dengan menuduh Omar Al-Bhasir atas genocide yang terjadi pada tahun 2003 hingga sekarang yang menewaskan sekitar 200.00 sampai 500.000 orang di Darfur. Amerika Serikat pada akhirnya memanfaatkan konflik Darfur yang terjadi tahun 2003 untuk menjadi batu lompatan agar dengan melalui ICC dalam tempo kepentingan jangka panjang, Amerika Serikat (mungkin) dapat menganeksasi Sudan dan mendapatkan minyaknya secara total[8]. Tidak seperti Cina, yang meskipun sebagai dominator dalam saham minyak di Sudan, Cina hanya mendapatkan 40% saham atas minyak yang terkandung dalam perairan Sudan. Sedangkan Amerika Serikat berupaya (secara halus) untuk meruntuhkan rezim Omar Al-Bashir yang tidak bersahabat dengan Amerika Serikat (ditolaknya Danforth), dengan menggunakan konflik di Darfur dan ICC sebagai alat untuk mencapai kepentingan totalnya terhadap minyak yang terkandung dalam teritorial perairan Sudan.

Reaksi Sudan Terhadap Kebijakan Luar Negeri Cina dan Amerika Serikat Terhadap Dirinya
Menaggapi sikap Cina dan Amerika Serikat yang terlihat begitu ingin mendapat bagian dalam kandungan minyak yang terdapat pada satu blok perairan yang ada di laut merah daerah teritorial perairan Sudan ini, pemerintah Sudan mengisyaratkan tendensinya pada Cina. Begitu pula dengan rakyat Sudan yang menggelar demonstrasi besar-besaran di Khourtum ibukota Sudan. Meskipun tidak menunjukan dukungannya pada Cina, demonstrasi besar yang terjadi di Khourtum mengutuk keras sikap Amerika Serikat yang dinilai “sembarangan” menuduh dalam forum ICC.
Tetapi bagi Cina, pemerintah Sudan secara resmi sangat membuka diri terhadap investasi saham Cina sebanyak 40% dalam sektor pertambangan minyak. Kedekatan antara Sudan dan Cina juga membuat kontrak investasi itu berjalan lancar. Cina dalam sekitar jangka waktu 20 tahun akan menanamkan modalnya pada Sudan, dan perjanjian itu diawali dengan pembukaan eksploitasi minyak yang dalam pembukaanya disetujui selama enam tahun. Bukan hanya itu saja, dalam konflik bersenjata yang terjadi di Darfur, dalam temuan terakhirnya pihak Amerika Serikat mensinyalir bahwasannya 90% senjata yang ada dalam konflik di Darfur adalah buatan Cina[9]. Hal ini tentu secara tidak langsung mengindikasikan bahwasannya hubungan antara Cina dengan Sudan bukan saja baik, tapi “sangat” baik. Mengapa dikatakan demikian? Kerjasama yang dilakukan antara Cina dengan Sudan sudah tidak lagi dalam ranah ekonomi, tetapi sudah memasuki ranah pertahanan dan militer, yang level-nya lebih tinggi daripada kerjasama ekonomi biasa. Hal ini tentu saja membuat Amerika Serikat menjadi geram atas sikap Sudan dan Cina.

Efek Konflik Sudan Terhadap Masalah Keamanan Regional Afrika
Permasalahan yang terjadi di Sudan meskipun dalam kasus Darfur adalah permasalahan dalam tingkat nasional, tetapi dengan adanya inseminasi campur tangan oleh negara-negara core, maka konflik Darfur berdampak bagi dunia internasional. Dari sisi regionalpun, konflik yang terjadi di Darfur mempengaruhi hubungan antara Sudan dengan Chad. Chad dituduh oleh Sudan bahwa Chad membantu kelompok pemberontak untuk mengungsikan kelompoknya ke daerah teritorial Chad. Chad menampik tuduhan Sudan dengan alasan bahwa yang dilakukannya adalah berdasarkan kemanusiaan. Dengan adanya permasalahan baru antara Chad dengan Sudan yang disebabkan oleh permasalahan nasional semata, maka tidak menutup kemungkinan konflik bilateral antara Sudan degan Chad dapat berkembang menjadi konflik regional berdasarkan asas teori konsepsi peranan nasional.

[1] http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/16/the-guardian-minyak-motif-amerika-di-sudan/ diakses pada 26 April 2009
[2] http://www.youtube.com/watch?v=rpGNzb4FzYw&feature=related diakses pada 26 April 2009
[3] Looking to water to find peace in Darfur". Reuters AlertNet. 2007-07-30. http://www.alertnet.org/db/blogs/1265/2007/06/30-100806-1.htm diakses pada 26 April 2009
[4] Darfur: A ‘Plan B’ to Stop Genocide?". US Department of State. 2007-04-11. http://www.state.gov/p/af/rls/rm/82941.htm diakses oada 26 April 2009
[5] Sun Zi's The Art of War text translated by Dr Han Hiong Tan 2001
[6] http://www.kapanlagi.com/h/0000179496.html diakses pada 26 April 2009
[7] John Prendergast, Senator Danforth’s Sudan Challenge: Building a Bridge to Peace, African Notes Number 5, January, 2002
[8] http://farid1924.wordpress.com/2008/08/12/rebutan-minyak-dibalik-krisis-sudan/ diakses pada 26 April 2009
[9] China - Sudan 90% of the weapons for Darfur come from China - Asia News". Asianews.it. http://www.asianews.it/index.php?l=en&art=11773. diakses pada 26 April 2009

Constructivism & Rationalism: A Bridge of (Neo)Realism and (Neo)Liberalism. Is Anarchy What States Make of It?

Robin Riwanda Mandagie


Prolog
Teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang unik. Teori ini disebut sebagai teori yang unik karena “ontologi yang sebenarnya” dari teori ini adalah konstruksi pemikiran manusia. Von Glaserfed mengasumsikan bahwa konstrukivisme adalah sebuah filsafat manusia yang emphasize bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi pemikiran manusia. Jadi singkat kata, pengetahuan yang dipandang oleh kebanyakan orang sebagai “acuan” dan bersifat obyektif, maka menurut Glaserfeld, pengetahuan itu bersifat subyektif yang berasal dari subyektifitas dan konstruksi pemikiran manusia penanam nilai-nilai normatif dalam sebuah “pengetahuan”[1]. Teori konstruktivisme banyak memiliki obyek kajian yang sangat berkaitan dengan bagaimana sugesti dari pemikiran setiap manusia itu begitu kuat dan hal ini dapat menyebabkan nilai-nilai positif tersendri dan menciptakan modernitas didalamnya[2].
Terminologi teori konstruktivisme pertama kali, secara umum diketahui bahwa digunakan oleh seorang psikolog bernama Jean Piaget. Jean Piget terkenal dengan kontribusinya pada teori konstruktivisme dalam terminologi “adaptasi kognitif”. Bagi Piget, konstruksi pemikiran manusia itu pada dasarnya sama dengan organisme-organisme yang ada didunia ini yang in case ingin bertahan hidup, maka perlu adaptasi didalamnya. Piglet menganalogikan sistem adaptasi ini kedalam konstruksi pemikiran manusia.
Lantas apa hubunganya dengan teori hubungan internasional? Adakah koherensi antara pengertian konstruktivisme secara umum dengan aplikasinya terhadap teori Ilmu Hubungan Internasional? Untuk mengetahui koherensi antara konstruktivisme dengan Ilmu Hubungan Internasional, perlu kita lihat kajian teoritis mengenai perdebatan realis dengan liberalis akan konsep “sistem internasional yang anarki”. Jika ditarik suatu pemikiran konstruktivis dari konsep tersebut maka ada suatu tesis dan postulat yang menarik seperti yang diungkapkan oleh Alexander Wendt yang menyatakan bahwa konsep mengenai sistem anarki internasional adalah “sesuatu” yang dibuat oleh aktor negara. Maka dari itu, berhubungan dengan teori-teori Ilmu Hubungan Internasional, terutama (neo)realis dan (neo)liberalis, akan dielaborasi lebih lanjut mengenai konsep pemikiran konstruktivisme dalam ranah Hubungan Internasional dan peran rasionalisme dalam “tuaian” kritik yang didapatnya sehingga konstruktivisme menjadi teori yang begitu populer bagi obyek ontologi Ilmu Hubungan Internasional

Overview Konstruktivisme dan Rasionalisme
Berbicara mengenai konstruktivisme tidak lepas dari bagaimana perkembangan konsep akan pemikiran-pemikiran konstruktivisme yang lahir dari kritiknya terhadap rasionalisme. Realisme dan liberalisme sama-sama setuju bahwa teori dan konsep rasionalisme adalah sebuah disposisi teoritis yang dimana interaksi negara secara interasional dapat dijelaskan. Maka dari itu, kedua teori ini (realisme dan liberalisme) “mengamini” pernyataan rasionalis bahwa sistem internsional yang anarki lah yang mendeterminasi perilaku dari negara. Singkat kata, rasionalisme adalah suatu terminologi yang menjadi suatu teori yang overlaps antara realisme dan liberalisme[3]. Hal inilah yang menjadi obyek kritik dari teoritisi konstruktivisme. Konstruktivisme mengkritik hal ini “habis-habisan” terutama dalam sistem anarki yang ditawarkan oleh rasionalisme. Kritik terhadap rasionalisme inilah yang akhirnya memunculkan suatu “jembatan” dalam perdebatan panjang antara realisme dan liberalisme dalam ranah sistem anarki internasional. Konstruktivisme menawarkan suatu alternatif konsep yang cukup “mengguncang” keadaan psikologi dari dua kelompok ini (realisme dan liberalisme, yang tergabung dalam satu pemikiran “rasionalisme” menurut orang-orang konstruktivis)[4]. Berikut ini adalah tabel pemebda antara pembahasan konstruktivisme dan rasionalisme
Perbedaan
Konstruktivisme
Rasionalisme
Metodologi
- Mempertanyakan secara kritis dari mana datangnya identitas dan kepentingan tersebut
- Identitas dan kepentingan bukan realitas melainkan bentukan struktur dan teori.
- Menekankan pentingnya kekuatan Ide
- Menjadikan kekuatan ide sangat berperan penting dalam kehidupan sosial dalam menentukan pilihan di antara perimbangan keberagaman sosial.
- Institusi merupakan struktur sosial yang berfungsi untuk “sharing gagasan”

- Mempertanyakan pengaruh lingkungan terhadap derajat perilaku aktor
- Memperjuangkan identitas dan kepentinganya jika ada peluang
- Kental dengan pendekatan Rational Choice dalam perilaku ekonomi borjuasi
- Menekankan pentingnya kekuatan materi
- Neorealist menyebut kepentingan negara berawal dari struktur materi yang anarkis.
- Kekuatan ide direduksi untuk mengintervensi variabel antara kekuatan materi dan hasil
- Mengandalkan kekuatan materi dan kepentingan sendiri
Ontologi
- Struktur dan intersubyektivitas
- Tindakan memproduksi dan mereproduksi konsepsi identitas dalam ruang sosial dan waktu tertentu
- Negara mentransformasikan kultur HI dalam konteks sistem keamanan kolektif (a collective security system)
- Individual-centrism
- Tindakan memproduksi dan mereproduksi konsepsi identitas individu semata.
- Negara mentransformasikan kultur HI dalam konteks kekuatan yang berimbang (a balance of power)
Empirisme
- Identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan oleh sistem struktur
- Kepentingan dan identitas negara selalu dikonstruksikan dalam sistem HI
-
- Identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan oleh kekuatan domestik.
- Asumsi yang konstan atas gagasan empirisme dan alasan yang independen dalam sistem internasional
-
Sumber : Wendt, Three Interpretation, dalam Social Theory of International Politics, hal. 33-37. Diambil dari :

http://ajideni.blogdrive.com/archive/1.html

Argumen via Media Realisme dan Idealisme: Anarchy Is What State Make Of It.
Dalam perkembangannya, sebagai suatu teori yang dominan dalam kajian studi Ilmu Hubungan Internasional, baik realisme dan liberalisme percaya bahwa sistem internasional itu bersifat anarki[5]. Baik secara struktural (neorealisme & neoliberalisme) ataupun tidak. Bagi pemikir konstruktivis, pernyataan ini hanyalah sebuah justifikasi belaka dari dua kalangan rasional ini, baik liberal maupun realis. Berbeda dengan pemikiran (neo)liberal dan (neo)realis yang berasumsi bahwa sistem internasional yang anarki lah yang menjadi faktor determinan bagi sikap suatu negara. Dalam asumsi neoliberal (yang berbau ideal), sistem anarki internasional adalah suatu sistem yang bersifat “memaksa” negara-negara dibawah sistem interansional itu saling berkooperasi dan bekerjasama berdasarkan prinsip interdependensi. Sedangkan asumsi (neo)realis adalah sistem anarki internasional bersifat konfliktual dan sekali lagi “memaksa” negara-negara dibawah sistem anarki internasional untuk saling bersifat agresif-preventif agar dapat survive dalam sistem internasional yang anarki. Sebenarnya asumsi inilah yang menjadi landasan pemikiran konstruktivis dalam ranah Ilmu Hubungan Internasional. Menanggapi asumsi dari (neo)realis maupun neoliberalis, konstruktivisme hampir sama dengan asumsi awal konstruktivisme yang diungkapkan Von Glaserfeld, berasumsi bahwa, terminologi sistem internasional yang anarki (baik kooperatif maupun konfliktual) dikonstruksikan oleh “keadaan psikologis” negara itu sendiri. Artinya adalah bagaimanapun sifat sistem internasional itu, baik konfliktual maupun kooperatif, hal tersebut terdeterminasikan oleh bagaimana cara state atau negara itu bertindak. Tentunya hal-hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan psikologis dari setiap negara. Dalam hal ini, Alexander Wendt memiliki versi dari konstruktivisme yang lebih radikal, yaitu konstruktivisme yang juga mengkritik asumsi konstruktivisme “reguler” yang menyatakan bahwa “anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara”. Bagi Wendt, tidak ada logika anarki, tetapi anarki adalah sebuah efek dari praktik pemikiran konstruktivis reguler “anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara”[6]

Kritik terhadap neoliberalisme
Dalam kelanjutannya mengenai teori konstruktivisme, kritik terhadap rasionalisme tentu secara tidak langsung turut membantu konstruktivisme dalam mebangun dan mengembangkan teorinya. Kritik terhadap salah satu teori yang rasional, yaitu neoliberalisme. Secara mendasar, ada tiga asumsi orang-orang neoliberal yang dipersoalkan oleh orang-orang konstruktivis. Asumsi-asumsi itu adalah, pertama, neoliberalisme menerima bahwa identitas dan kepentingan adalah sesuatu yang given, karena neoliberalis hanya mengakui perubahan didalam perilaku negara dan bukan perubahan didalam negara itu sendiri. Yang kedua adalah bahwa neoliberalisme menerima bahwa kepentingan dan identitas suatu negara ter-generasikan oleh sistem anarki internasional. Yang ketiga adalah bahwa neoliberalisme membatasi pengertian secara teoritis dari perubahan dalam agen dan struktur, sebab neoliberalisme hanya mengkaji perubahan dalam perilaku, tetapi tidak dalam identitas dan kepentingan aktor[7]

Dari semua ekspalanasi yang ada, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa konstruktivisme menjadi sebuah pemikiran dan paradigma yang populer dikalangan akademisi Ilmu Hubungan Internasional akibat keunikannya dalam memberikan terobosan dalam mengkrtitik kerangka berpikir baik dari rasionalisme, realisme, dan liberalisme. Dengan adanya suatu konsepsi baru mengenai konsep sistem internasional yang anarki menyebabkan lahirnya suatu breakthrough bagi pemikiran yang terkotakkan oleh liberalisme dan realisme. Akibat breakthrough yang dilakukan oleh konstruktivisme, lahir beberapa pemikiran seperti modernisme, postmodernisme, dan teori-teori mengenai gender[8]. Dengan sikap yang seperti “menjembatani” antara realis dan neoliberal dalam konsep sistem anarki internasionalnya, konstruktivisme memposisikan dirinya berada diantara neoliberalisme dan realisme, dengan demikian konstruktivisme dapat juga disebut sebagai suatu teori yang bersifat alternative theory.

[1] Ernst von Glasersfeld (1987) The construction of knowledge, Contributions to conceptual semantics. W Norton & Co Incorporated. 1st edition
[2] Slezak Peter. (2000) "A Critique of Radical Social Constructivism", in D.C. Philips, (ed.) 2000. Constructivism in Education: Opinions and Second Opinions on Controversial Issues. The University of Chicago Press.
[3] Andrew Linklater, (1996), Rationalism. Theory of International Relations. Macmillan Press Ltd. London
[4] Walter Kaufmann (2008). From Plato to Derrida. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice Hall
[5] Robin Mandagie (2009). Realisme dan Neorealisme: Paham Dominan dalam Ilmu Hubungan Internasional. Jurnal minggu ke-1 mata kuliah Teori Hubungan Internasional. Universitas Airlangga.
[6] Alexander Wendt (1992). Anarchy is What States Makes of It: The Social Construction of Power Politics.
[7] Maja Zehfuss, (2002), “Constructivism in International Relations : The Politics of Reality”, Cambridge University Press, Cet.
[8] http://ajideni.blogdrive.com/archive/1.html diakses pada 12 Mei 2009

Realisme dan Neorealisme, Paham Dominan di Hubungan Internasional

Oleh Robin Riwanda Mandagie

Gambaran Umum Realisme

Ketika seorang scholar Ilmu Hubungan Internasional membawa suatu bahasan tentang realisme, asumsi-asumsi yang tidak asing bagi telinga sesorang yang mempelajari Ilmu Hubungan Internasional adalah skeptisisme kaum realis terhadap kemajuan politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidapan politik domestik. Pandangan atau asumsi inilah yang menjadi tredemark dari realisme itu sendiri. Bahkan sampai saat ini pemikiran tersebut masih dipegang oleh teoritisi Hubungan Internasional yang terkenal. Baik dari masa lalu, maupun sampai sekarang.
Perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang Dunia I dan II. Aliran ini semakin kuat setelah Perang Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme. Pandangan-pandangan yang jadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan mereka yang menganut idealisme. Misalnya, perspektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu jahat, berambisi untuk berkuasa, berperang dan tidak mau kerja sama.[1]
Ada banyak yang menjadi asumsi dasar yang menjadi ciri khas kaum realis. Salah satu ciri khas pandangan kaum realis adalah, pertama, kaum realis mempunyai pandangan yang pesimis mengenai sifat dasar manusia. Orang realis selalu menilai pada dasarnya manusia adalah jahat[2]. Kedua, kaum realis meyakini bahwa hubungan internasional pada dasarnya berpotensi menghasilkan konflik, dan konflik-konflik internasional yang terjadi akhirnya diselesaikan dengan perang. Yang tidak kalah pentingnya kaum realis menganggap suatu sistem internasional adalah sebuah sistem yang anarki. Pandangan ini muncul oleh karena tidak adanya Government above the states. Oleh karena itu, elemen-elemen yang ada di dalam sistem internasional yang anarki (Negara sebagai aktor utama) harus berjuang sedemikian mungkin untuk membangun kekuatan sehingga menciptakan balance of power. Dengan adanya konsep balance of power, maka hal ini menurut para kaum realis dapat mencegah terjadinya perang.

Realisme Klasik
Pemikiran mengenai realisme sendiri sudah muncul sejak jaman Yunani Kuno. Key Thinkers pada jaman itupun sudah banyak mengungkapkan teori tentang realisme politik yang menjadi haluan bagi pemikir-pemikir kunci realisme pada masa sekarang. pemikiran mereka sudah diawali sejak jaman Thucydides (The Melian Dialogue 460-406BC), Nicollo Machiavelli (1496-1527), Thomas. Hobbes (1588-1679) dan J.J. Rosseau (1712-78), yang disebut classic-realism. Realisme klasik menawarkan konsep raison d’etat (state excuse), dimana negara memiliki dalih untuk melindungi negaranya (Sebagaimana doktrin militer pre-emptative strike Amerika Serikat pada masa postcontaintment Perang Dingin).[3]

Realisme Neoklasik
Hans J. Morgenthau adalah pencetus utama realisme neoklasik. Kutipan yang terkenal mengenai substansi pemikiran Morgenthau adalah “Politik adalah perjuangan untuk kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya, dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan menentukan teknik aksi politik”[4]. Disini Morgenthau banyak mengungkapkan kritisisme mengenai kepercayaan Woodrow Wilson mengenai kepercayaanya dalam menganalogikan dan “menyarankan” untuk mengaplikasikan etika pribadi kedalam etika politik[5]. Realisme neoklasik sendiri di definisikan oleh Baylis sebagai drive for power and the will to dominate that are held to be fundamental aspects of human nature[6].

Neo-Realisme (Disebut juga sebagai Structural Realism)
Pada dasarnya substansi pemikiran kaum realis (klasik) masih menjadi dasar dalam pemikiran realisme baru (Neo Realisme) ini. Perbedaanya dengan realisme klasik maupun realisme neoklasik adalah pendekatan dari dua paham realisme sebelum neorealis adalah pendekatan yang non-sistemik. Pendekatan non-sistemik yang dimaksud adalah, yang “dipersalahkan” atas segala chaos yang terjadi di dunia internasional adalah actor ( baik state sebagai aktor utama maupun sifat dasar manusia Animus Dominandi ). Berbeda dengan pendahulunya, kaum neorealis lebih cenderung “mempersalahkan” sistem, sebagai faktor utama yang mendorong state-actor. Hal serupa juga diungkapkan oleh Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics. Waltz menyatakan the international structure acts as a constraint on state behaviour, so that only states whose outcomes fall within an expected range survive[7] (penekanan bold ditambahkan oleh penulis). Jadi menurut hemat neorealis. Sistem internasional yang menentukan perilaku negara. Oleh karena sistem internasional (pada saat ini) dalam kondisi ketidakadaan government above the states, maka keadaan anarki yang menetukan perilaku setiap actor-aktornya, dalam perspektif realisme disebut sebagai state.

Kritik Terhadap Realisme
Realisme lahir dari kritiknya terhadap pemikiran utopis dari kaum idealis. Oleh karenanya secara harafiah, Realisme dapat juga dikatakan sebagai postidealis oleh karena pertentangan pemikiran yang terkandung dalam substansi pemikiran realisme.
Kritik merupakan hal yang wajar bagi setiap pemikir dan pemikiran-pemikiran politik dalam ruang lingkup internasional. Meskipun pada awalnya realisme lahir dari dekonstruksinya terhadap idealisme, realisme sendiri tidak lepas dari dekonstruksi oleh pemikiran-pemikiran yang bersifat antitesis terhadap substansi pemikirannya. Bahkan redekonstruksi pun sering dilakukan oleh kaum idealis terhadap kaum realis untuk menjustifikasi argumennya (lihat Great Debate pertama). Salah satu kritik terpedas terhadap realisme adalah kritik yang disampaikan oleh Michael Doyle. Doyle adalah salah satu pendukung dari teori Democratic Peace. Dalam menyampaikan argumenya, Doyle mengatakan bahwa negara demokratis tidak pernah saling berperang dengan negara demokratis lainya. Pernyataannya ini ditulis dalam tulisannya Thucydidean Realism yang dimuat dalam Review of International Studies.
[1] http://theglobalpolitics.com/?p=14 diakses pada 17 Maret 2009
[2] Georg Sorensen & Robert Jackson, Introduction to International Relations, Oxford University Press, 1998.
[3] http://rizkisaputro.wordpress.com/2007/09/18/realisme-dan-neo-realisme/ diakses pada 17 maret 2009
[4] H.J Morgenthau (1960). Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace.
[5] Willson mengungkapkan pendapatnya mengenai etika politik dan etika pribadinya pada pidatonya di Kongres AS, tahun 1917.
[6] Baylis, J & Smith, S & Ownes, P, The globalization of world politics, Oxford university press, USA, pg. 95
[7] Waltz, Kenneth Neal (1979). Theory of International Politics. Reading, MA: Addison-Wesley Pub. Co.

Teori Konflik

Prolog : Antara Konflik Makro & Mikro
Bahasan mengenai konflik dan teori mengenai konflik merupakan suatu bahasan tersendiri yang sangat menarik untuk dijadikan sebagai sebuah obyek ontologis. Mengapa kajian mengenai konflik menurut subyektifitas saya sebagai penulis sangat menarik? Karena jika kita berbicara mengenai konflik, itu berarti kita akan memasuki dua dimensi konflik, yaitu dimensi konflik makro dan mikro[1]. Dua dimensi ini berbicara dalam ranah ontologi yang berbeda. Ketika dengan pendekatan mikro kita menganalisis sebuah konflik, maka lingkup ontologisnya adalah ranah psikologi. Sedangkan jika kita menganalisis sebuah masalah dalam dimensi makro, maka pendekatan-pendekatan yang kita lakukan akan cenderung bersifat sosiologis. Dalam ranah mikro, konflik selalu berbicara mengenai bagaimana konstruksi pemikiran seseorang dapat menjadi sumber konflik bagi dirinya sendiri, dimana terjadi banyak pertentangan pertentangan yang hanya dapat dianalisis melalui pendekatan analisis psikologi atau psikoanalisis. Sedangkan dalam ranah makro, lebih menekankan pada dinamika struktur sosial dimana interaksi antar individu dapat menyebabkan konflik.
Berbagai argumen mengenai apakah pendekatan makro dan mikro dapat terintegrasikan dalam satu bahasan pun menjadi suatu perdebatan yang panjang. Salah satu scholar menyampaikan dalam tulisannya bahwa jika kedua dimensi konflik ini dikaji secara bersamaan dengan pendekatan kasuistik yang sama maka akan menjadi tidak absurd dan rasional. Dalam dimensi mikro, keadaan psikologis seseoranglah yang determinan apakah sikap atau behaviour orang tersebut konfliktual atau tidak (hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor dalam konstruksi psikologis dan pemikiran orang tersebut). Jika ditarik garis, kondisi personal (mikro) seseorang dikorelasikan dengan masyarakat atau society maka secara tidak langsung akan merambah pada ranah makro, karena berhubungan dengan society[2]. Dalam ranah makro, jika dihubungkan dengan state dan individu pemegang inti decision making process sebagai aktor dari dimensi mikro, maka menurut Alex Thio, dalam pendekatan sosiologis, keadaan psikologis seseorang tersebut akan mempengaruhi kebijakan yang diambilnya, meskipun melalui konsensus bersama, tetapi tetap pada final decision making bergantung pada satu individu pemegan inti kebijakan, dan hal ini sangat bias personal[3].



Evolusi Teori Konflik
Berbicara mengenai evolusi-evolusi dalam teori konflik, Dr. Günther Ossimitz mengemukakannya lebih dalam pada penekananya terhadap bagaimana perubahan-perubahan konflik dan evolusi yang ada diindikasikan lewat bagaimana konflik tersebut dapat diselesaikan. Dalam artikelnya yang berjudul The Evolution of Conflicts, Dr. Günther Ossimitz menyatakan bahwa ada enam tahapan evolusi penyelesaian konflik[4]. Yang pertama adalah escape. Opsi melarikan diri adalah opsi yang paling tradisional jika seseorang ingin terhindar daripada suatu konflik. Permasalahan utamanya adalah bahwa jika seseorang memilih opsi melarikan diri dari sebuah konflik maka yang sesungguhnya terjadi bukanlah suatu problemsolving tetapi lebih cenderung pada avoidance dimana konflik yang dihadapi suatu individu yang melarikan diri tersebut tidak benar-benar terselesaikan. Dalam hal ini Peter Senge mengutarakan “The main disadvantage of escape is that the conflict is just avoided, not really solved or even addressed. A modern variant of this habit to avoid painful confrontations is a strategy which has been coined ‘shifting the burden’”[5]. Yang kedua adalah destruction. Konsepsi mengenai destruction berbicara mengenai bagaimana dalam menghadapi konflik yang terjadi dalam suatu interaksi adalah dengan cara menghancurkan aktor oposisi biner yang kita hadapi. Hal ini muncul dari perkembangan pemikiran sebelumnya yang adalah escape. Konsep destruction ini muncul ketika individu yang terlibat dalam suatu konflik merasa bahwa konsep melarikan diri tidak dapat digunakan terus menerus, dan harus ada penyelesaian terhadap konflik tersebut dengan cara menyingkirkan pihak-pihak yang terlibat konflik dengan individu tersebut. Yang ketiga adalah submission. Konsep mengenai submisi adalah suatu konsep yang lebih modern, dimana pihak yang menang tidak semerta-merta mendestruksikan pihak yang kalah, tetapi pihak yang menang ini enslave pihak yang mengalami kekalahan demi kemajuannya sendiri. Kemudian adalah delegation. Konsep pendelegasian pihak ketiga ini adalah sebuah konstruksi pemikiran yang lebih moderen bagi “mereka” yang sangat menjunjung tinggi nilai kooperasi liberalisme dan neoliberalisme. Dengan adanya delegasi dari pihak ketiga yang netral, maka kepentingan dari dua pihak yang berkonflik akan diupayakan untuk dapat terselesaikan dengan hasil yang tidak destruktif maupun submisif, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa hasil yang disampaikan oleh pihak ketiga adalah destruktif atau submisif. Selanjutnya adalah compromise. Compromise atau yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai kompromi adalah tahapan selanjtnya dari evolusi (resolusi) konflik yang merupakan suatu perjanjian antara pihak yang saling terlibat konflik dengan cara menegosiasikan kepentingannya agar konflik dapat terselesaikan dengan cara yang ideal yaitu win-win.
Berikutnya adalah suatu tingkat mutakhir dari artikel Dr. Günther Ossimitz, yaitu konsensus. Konsensus adalah satu langkah lebih utopis dari compromise karena dalam konsensus terbentuklah suatu kesepakatan bersama yang tingkat kepuasannya melebihi terminologi compromise.

Arguments of Violence, Peace, & Peace Research
Argumen mengenai kekerasan atau violence dikemukakan oleh Johan Galtung. Johan Galtung adalah seorang aktivis yang sangat banyak merumuskan konsep-konsep peacemaking­-nya dalam artikel-artikelnya, salah satunya yang paling terkenal adalah Violence, Peace, Peace Research. Dalam argumennya mengenai kekerasan, Galtung mengatakan bahwa dasar (basis, bukan faktor) adalah structural violence. Dalam hal ini Galtung mendeskripsikan structural violence sebagai berikut “widely defined as the systematic ways in which a regime prevents individuals from achieving their full potential. Institutionalized racism and sexism are examples of this.”[6] Selain itu Galtung juga berkontribusi dalam konsepsinya akan terminologi perdamaian. Menurut galtung, dalam terminologi perdamaian ada dua sub-terminologi didalamnya yaitu positive peace dan negative peace. Terminologi positive peace dapat dicapai jika perdamaian dicapai atas dasar koordinasi dan hubungan yang supportif antara pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Sedangkan terminologi negative peace diartikan oleh Galtung sebagai absennya konflik. Baik konflik yang bernuansa kekerasan atau tidak.
Terminologi mengenai Peace Research juga muncul dalam jurnal Galtung sebagai alat untuk menemukan inovasi-inovasi baru mengenai peace building dan resolusi konflik. Berbagai penulis juga mengkonfirmasikan pernyataan Galtung melalui tulisannya bahwa peace research mengkonfrimasi akan inovasi-inovasi terbaru dalam terminologi resolusi konflik[7], dengan demikian harapan idealisme dan utopisme akan terbentuknya suatu sistem global yang damai lama-kelamaan dengan munculnya orang-orang seperti Galtung, mengindikasikan bahwa sebenarnya impian kooperasi dari idealisme orang-orang liberalisme bukanlah hal yang absurd dan irasional. Tetapi lebih menekankannya pada proses dimana konflik, sebenarnya dapat dipelajari secara obyektif dengan pendekatan yang non-interestual. Dengan demikian akan menghasilkan banyak alternatif-alternatif sesuai dengan perkembangan evolusi teori konflik dan resolusinya, dan bagaimana peran peace research untuk terus berupaya untuk menemukan inovasi-inovasi dalam proses resolusi konflik.




Bibliografi:
Dougherty, James E. & Robert Platzgraff. (1986). Contending Theories of International Relations: a Comprehensive Survey. New York, Longman
Yazid, Muhammad, Konflik dan perubahan Sosial, http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-25.html diakses pada 5 Mei 2009
Thio, Alex. (2009), Sociology A Brief Introduction, Pearson.
http://wwwu.uni-klu.ac.at/gossimit/ifsr/evolconf.pdf Diakses pada 5 Mei 2009
M Senge, Peter. (1990): The Fifth Discipline: the Art and Practice of the Learning
Organization (1st ed) New York: Doubleday
Galtung, Johan. (1969), Violence, Peace, and Peace Research, Journal of Peace Research, Vol. 6, No. 3, 167-191
De Wall, Frans B. M. (2000). Primates––A natural heritage of conflict resolution. Science 289: 586-590




[1] James E. Dougherty & Robert Platzgraff Jr. 1986. Contending Theories of International Relations: a Comprehensive Survey. New York, Longman
[2] Muhammad Yazid, Konflik dan perubahan Sosial, http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-25.html diakses pada 5 Mei 2009
[3] Alex Thio. 2009. Sociology A Brief Introduction, Pearson.
[4] http://wwwu.uni-klu.ac.at/gossimit/ifsr/evolconf.pdf Diakses pada 5 Mei 2009
[5] Peter M Senge. 1990: The Fifth Discipline: the Art and Practice of the Learning
Organization (1st ed) New York: Doubleday
[6] Johan Galtung. 1969. Violence, Peace, and Peace Research, Journal of Peace Research, Vol. 6, No. 3, 167-191
[7], Frans de Waal B. M. 2000. Primates––A natural heritage of conflict resolution. Science 289: 586-590