Selasa, 02 Juni 2009

Feminisme: Diskursus Ilmiah Ilmu Hubungan Internasional?
Robin Riwanda Mandagie, 070710174

“Suami-suami kasihilah istrimu, istri-istri taatilah suamimu”
-The Letter of Paul to the Church of Ephesus

Feminisme sebagai salah satu gerakan “kritis” terhadap “pembelengguan yang ada tentu seperti teori-teori alternatif lainnya dipandang sebagai sebuah gerakan pinggiran yang oleh beberapa pihak ingin dihapuskan diskursus ilmiah mengenai pembahasan pembebasan atau emansipasi wanita. Bahkan dari beberapa orang yang ingin menghapus gerakan feminisme dan perkembangan diskursusnya dalam ranah sosial adalah para wanita. Sebut saja Camille Paglia dan Christina Hoff Sommers yang oleh para feminis di “cap” sebagai orang-orang anti feminisme.[1] Tetapi meski banyak juga gerakan-gerakan yang menentang feminisme, dalam kenyataanya feminisme berkembang menjadi suatu paham dan bahkan gerakan yang secara perlahan mengubah struktur sistemik dari world system dalam era kontemporer ini. Peran dan kesempatan bagi wanita dalam berbagai posisi karir dan jabatan semakin luas oleh karena pertimbangan emansipasi wanita ini. Esai ini akan membahas empat aspek penting feminism dalam ranah Ilmu Hubungan Internasional. Pertama adalah asumsi apa saja yang mendasari gerakan feminisme ini, kedua adalah bagaimana kaum feminisme mendapatkan emansipasi politik dalam sistem dunia yang menurut para feminis adalah sistem dunia yang maskulin,[2] yang ketiga adalah bagaimana feminisme mempengaruhi pluralitas dalam aktor-aktor hubungan internasional, dan yang terakhir adalah bagaimana feminisme menciptakan suatu perdamaian dan kerjasama, dan apakah feminisme menawarkan “jalan keluar yang solutif mengenai permasalahan ini.

Asumsi Dasar Feminisme
Seperti pemikiran, ideologi, dan teori lainnya dalam diskursus Ilmu Hubungan Internasional, feminisme tentu memiliki asumsi-asumsi dasar ideologinya yang mendasari pergerakan-pergerakan daripada semangat emansipatoris wanita. Asumsi dasar yang melandasi pergerakan dan ideologi dari feminisme pada intinya sama dengan teori-teori pinggiran lainnya, yaitu dengan semangat emansipatoris ingin membebaskan “wanita” dari “belenggu” yang selama ini terkonstruksi secara sosial maupun struktural bahwa wanita adalah subordinasi dari pria, menyamaratakan wanita dengan pria.[3] Asumsi ini adalah asumsi yang masih sangat umum dalam pemikiran dasar feminisme. Dalam perkembangan diskursus mengenai feminisme, timbul berbagai macam varian dari feminisme itu sendiri yang didasari oleh berbagai pemikiran dan konstruksi psikologis dari para feminist. Oleh karena itu feminisme memunculkan berbagai macam aliran dari feminisme seperti sosialis-marxis feminisme yang lebih menekankan pada eksploitasi wanita sebagai obyek eksploitasi oleh para pria.[4] Gerakan ini mengusahakan pembebasan wanita dari eksploitasi pria. Kemudian ada juga yang disebut sebagai feminisme posmodern yang dalam asumsinya mengkritik “eksistensi” wanita yang tersubordinasikan melalui metode pembacaan teks dan bahasa dengan menggunakan metode genealogi dan dekonstruksi dalam mencari dan membedah konstruksi wanita yang secara sosial termajinalkan.[5] Masih banyak varian-varian feminisme yang dalam perkembangannya menggunakan teori-teori lain dalam memperkuat asumsinya mengenai emansipasi wanita.

Emansipasi Politik Bagi Feminism
Dalam konstruksi sosial pada umumnya, wanita sebagai subordinasi dari pria sangat dilarang dalam menduduki posisi-posisi penting atau posisi yang mengatasi pria. Hal inilah yang ingin di “dobrak” oleh kaum feminis yang dianggap mereka sebagai pembelenggu. Gerakan-gerakan feminisme boleh bertepuk tangan dan bersenang hati ketika Margareth Tatcher terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris, Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia, Gloria Macapagal Arroyo sebagai Presiden Filipina, dan banyak lagi posisi-posisi penting bagi perempuan yang dalam berbagai keputusannya dapat merubahkan dunia. Hal inilah yang menjadi tujuan utama feminisme dalam emansipasi atau pembebasan secara politik bagi para wanita, dimana secara politis feminisme memperjuangkan posisi-posisi yang dahulu hanya dapat diduduki oleh pria dan akan sangat tabu jika yang menduduki posisi-posisi tersebut adalah wanita. Perjuangan-perjuangan seperti ini dapat kita lihat dalam perjungan RA. Kartini dalam memperjuangkan wanita Indonesia. Meskipun banyak pihak yang menilai bahwa perjuangan Kartini bukanlah perjuangan feminisme karena Kartini tidak memperjuangkan kesamarataan wanita dengan pria, hanya memperjuangkan wanita Indonesia sebagai ibu-rumah tangga yang baik. Tetapi dalam suatu sisi perjuangan Kartini dapat juga dinilai sebagai perjuangan yang dalam esensi dan substansinya banyak diinspirasikan oleh gerakan-gerakan dan ideologi feminisme didalamnya.[6]

Pluralisme dalam Aktor Hubungan Internasional
Lantas apa dampak dan signifikansi serta relevansi dari feminisme terhadap Ilmu Hubungan Internasional? Dapatkah teori dari pergerakan sosial ini dijadikan suatu teori yang dapat digunakan untuk membantu menganalisis dan mengobservasi fenomena-fenomena hubungan internasional? Jika ditelusuri lebih lanjut dan dibedah secara mendalam, hubungan internasional yang menjadi diskursus dalam Ilmu Hubungan Internasional pada era klasik maupun kontemporer, memiliki dan tetap berada dalam satu paham dan teori dominan yaitu adalah realisme dan dalam perkembanganya neorealisme. Paham realisme dan turunannya neorealisme dalam memandang sistem hubungan internasional menggunakan kacamata sistem Westphalian, yang dimana state adalah aktor utama dalam hubungan internsional, dengan wacana-wacana yang dipenuhi dengan isu-isu mengenai perang dan konflik. Jika didalami, sistem dan isu yang dibawa oleh realisme sangat bersifat maskulin. Negara, konflik, kepentingan, dan perang adalah isu-isu yang sangat berbau maskulinitas. Hal inilah yang ingin didobrak oleh kaum feminis. Mereka menginginkan adanya suatu pembebasan dari sistem internasional yang seperti ini dengan mengakui adanya aktor-aktor lain dalam hubungan internasional. Feminisme yang mendukung pembebasan dalam hal ini adalah gerakan feminisme yang dikenal dengan terminologi feminisme liberal yang dimana feminisme liberal (dalam kajian hubungan internasional) menginginkan pembebasan dari Westphalian System dengan mengakui adanya pluralitas dalam aktor-aktor hubungan internasional.[7]

Peace n’ Cooperation Bagi Feminisme
Feminisme dalam diskursus mengenai perdamaian dan kooperasi telah berhasil mendekonstruksi pemikiran-pemikiran yang dominan didalamnya. Pemaknaan perdamaian dan kerjasama bagi kaum feminis tentu sangat berbeda dari pemaknaan kaum mainstream terutama yang berhaluan pada realisme. Cara-cara feminis dalam penyelesaian konflik pun tentu berbeda dengan orang realis. Ketika orang realis menghalalkan perang dalam tujuan mencapai perdamaian, tentu orang feminis memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal tersebut. Feminisme dalam pencapaian perdamaian dan kerjasama lebih cenderung pada hal-hal kecil yang secara perhitungan mainstream hubungan internasional terlalu mikro untuk dijadikan suatu bahan pertimbangan. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari sifat wanita/feminis yang cenderung pada anti-militerisme, karena ketika wanita berbicara, secara psikoanalisis, yang menentukan pembicaraan, tindakan dari seorang wanita adalah perasaan dari wanita. Hal-hal tersebut meliputi penentangan kaum feminisme pada maskulinitas realisme dan neorealisme.[8]

Personal Opinion
Sebagai seorang yang menganut agama semitik, tentu pendapat saya tentang feminisme terkesan sedikit bias dengan kepercayaan. Tetapi dalam hal ini saya ingin membagikan pandangan pribadi mengenai feminisme. Sejak semula manusia diciptakan, subordinasi wanita terhadap pria sudah ada terlebih dahulu. Dalam perspektif agama semitik pertamakali Tuhan menciptakan manusia adalah Adam (dalam bahasa ibrani berarti manusia laki-laki) kemudian dari tulang rusuk Adam terciptalah seorang wanita bernama Hawa yang dimaksudkan oleh Tuhan sebagai “pembantu” pria. Kepercayaan tradisional agama semitik inilah yang mengkonstruksikan bahwa Wanita adalah subordinasi pria. Agama Islam memperbolehkan seorang pria menikah dengan empat wanita. Tetapi tidak dengan wanitanya. Agama Kristen seperti yang saya kutip di bagian paling atas esai ini mengindikasikan bahwa wanita harus tunduk terhadap pria, dan seorang pria hanya diwajibkan untuk mengasihi istrinya. Permasalahannya adalah kedua agama ini adalah agama yang memiliki penganut paling besar di dunia. Hal ini tentu mengkonstruksikan dalam subyektivitas mereka para penganut dua agama besar tersebut bahwa subordinasi wanita terhadap pria adalah sebuah konviksi agama dan tidak dapat didekonstruksikan. Meskipun dalam pemikiran ilmiah mereka kritis dalam segala sesuatu, tetapi kebanyakan dari penganut dua agama ini kekeritisanya terbentur dengan konviksi agama yang tidak mungkin mereka abaikan.






Sumber:

Stacey, Judith (2000). Is Academic Feminism an Oxymoron?. Signs 25 (Feminisms at a Millennium)
Messner, Michael A.(1992). Power at play: sports and the problem of masculinity. Boston: Beacon Press
http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=26437 diakses pada 3 Juni 2009
Ehrenreich, Barbara.(1976) What is Socialist Feminism. WIN Magazine http://dx.doi.org/10.1080/09699089800200034 diakses pada 3 Juni 2009
Butler, Judith(1999). Gender trouble: feminism and the subversion of identity. New York: Routledge
http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/10609 diakses pada 3 Juni 2009
Hooks, Bell .(1984). Feminist Theory: From Margin to Center Cambridge, MA: South End Press
Pollock, Griselda .(2001). Looking Back to the Future: Essays on Art, Life and Death. G&B Arts.

[1] Judith Stacey (2000). Is Academic Feminism an Oxymoron?. Signs 25 (Feminisms at a Millennium)
[2] Michael A Messner.(1992). Power at play: sports and the problem of masculinity. Boston: Beacon Press
[3] http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=26437 diakses pada 3 Juni 2009
[4] Barbara Ehrenreich.(1976) What is Socialist Feminism. WIN Magazine http://dx.doi.org/10.1080/09699089800200034 diakses pada 3 Juni 2009
[5] Judith Butler (1999). Gender trouble: feminism and the subversion of identity. New York: Routledge
[6] http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/10609 diakses pada 3 Juni 2009
[7] Bell Hooks.(1984). Feminist Theory: From Margin to Center Cambridge, MA: South End Press
[8] Griselda Pollock.(2001). Looking Back to the Future: Essays on Art, Life and Death. G&B Arts.