Jumat, 22 Mei 2009

Critical Theory: Asumsi Neomarxisme, Kritik Terhadap Neorealisme, dan Kontribusinya Terhadap Ilmu Hubungan Internasional

Robin Riwanda Mandagie, 070710174


Prolog
Teori-teori kritis adalah teori-teori yang lahir dari adanya ketidaksteraan dalam suatu sistem, atau yang disebut sebagai structural inequality yang inherent di dalam suatu sistem internasional. Teori-teori Kritis secara struktur dikatakan sebagai teori kritis karena mereka (teoritisi teori kritis) mengkritik status quo yang ada didalam hubungan internasional. Ada dua aliran utama dari teori-teori kritis yaitu aliran positivis dan aliran post-positivis. Teori-teori yang masuk dalam postivis adalah marxisme, neomarxisme, neogramscianisme. Bahkan ada beberapa orang yang mengkategorikan konstruktivisme sosial sebagai salah satu teori kritis dalam aliran postivisme. Sedangkan aliran post-positivisme adalah teori-teori yang “bergerak” beyond positivism. Yaitu teori-teori yang dapat dikategorikan sebagai supra-critical­ karena teori-teori ini tidak bergerak sesuai dengan alur yang ada dan tetap dalam postivisme yang begitu kental dengan nilai-nilai akurasi yang tinggi, anti-relativitas (universalitas), konsisten dengan pengetahuan yang telah mapan, dan bersifat parsimonial.[1] Teori-teori yang dapat dikategorikan sebagai teori kritis aliran post-positivis adalah teori-teori sebagai berikut. Postmodernisme, postcolonialisme, dan teori feminisme. Teori-teori ini sering disebut sebagai teori-teori pinggiran oleh teoritisi mainstream hubungan internasional oleh karena teori-teori ini banyak menggunakan asumsi-asumsi psikologis untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional yang tidak dapat dijelaskan oleh realisme maupun liberalisme, yang dimana dalam perkembanganya fenomena yang tidak terjelaskan oleh kedua teori mainstream tersebut disebut sebagai fenomena pinggiran dan tidak layak untuk dijelaskan. Oleh dari itu, teori-teori kritis yang hadir dan mencoba mendekonstruksi konstruksi (baik pemikiran individu atau sosial) dari fenomena pinggiran yang ada sehingga teori-teori kritis ini sering disebut sebagai teori pinggiran oleh akademisi hubungan internasional yang beraliran mainstream. Teori-teori ini dapat terlihat perbedaanya dengan teori-teori mainstream jika kita tracing kedalam premis-premis ontologi dan epistemologinya.[2]

Asumsi Neo-Marxisme
Pada dasarnya pemikiran marxisme dan neomarxisme tidak memiliki banyak perbedaan. Hanya saja pendekatan yang digunakan dalam kedua teori yang saling “turun-menurun” ini (neo-marxisme sebagai turunan dari marxisme) berbeda dalam hal aktor dan struktur. Asumsi neomarxisme pada dasarnya adalah sama dengan asumsi dasar dari marxisme itu sendiri. Hanya saja (jika saya diijinkan untuk mendekonstruksi hal ini) suatu pola prefix “neo” yang ada di aliran dan teori hubungan internasional (sebut saja neorealisme) adalah suatu terminologi dari teori itu sendiri dengan inseminasi dari asumsi yang bersifat struktural. Maka dari itu wajar saja jika banyak scholar yang menyamaratakan antara neo-marxisme dengan strukturalisme.[3] Asumsi dasar dari neomarxisme itu sendiri adalah dunia ini bukanlah terpilah berdasarkan sovereignity yang dimiliki oleh negara sehingga menentukan batas-batasnya dalam sistem internasional. Tetapi yang diasumsikan oleh neomarxisme adalah sistem internasional yang terpilah berdasarkan kelas. Yaitu kelas kapitalis-eksploiter (dalam marxisme adalah borjuis) dan kelas negara dunia ketiga atau negara periphery (dalam marxisme adalah proletar) yang menjadi obyek eksploitasi karena memiliki sumber daya alam yang tidak dimiliki oleh negara bermodal (kapital).

Kritik Terhadap Neorealisme
Kritik terhadap neorealisme dalam sebuah artikel yang berjudul Keohane’s Realism and Its Critics yang ditulis oleh Howard Fienberg menyatakan bahwa ada dua teori yang digunakan dalam mengkritik neorealisme.[4] Yan pertama adalah idealisme-liberalisme yang dibawa oleh Robert O. Keohane dan Teori Kritis-Marxisme yang dibawa oleh Robert Cox. Tentunya dalam jurnal ini akan lebih ditekankan pada kritik yang disampaikan oleh Robert Cox dengan metodologi kritisnya. Koeohane lebih menekankan pada kritik-kritik yang berdasarkan pemikiran neoliberalisme yang merupakan hasil dari 3rd Great Debate antara neoliberalisme dan neorealisme. Tetapi apa yang diajukan oleh Robert Cox dalam kritiknya terhadap neorealisme merupakan suatu karya yang lebih distinctive daripada sekedar kritik yang diajukan oleh orang neoliberal. Poin paling penting yang disampaikan oleh Robert Cox dalam mengkritik neorealisme adalah ketika Cox menanyakan tentang outright objectivity yang diajukan oleh neorealisme. Dalam konstruksi pemikiran Cox, ia sangat mempercayai bahwa tidak mungkin bagi suatu teori untuk mencapai suatu konsep yang dinamakan sebagai true knowledge yang dimana neorealis dan juga neoliberal (kaum tradisionalis pada umumnya) setuju bahwa true konwledge ada didalam asumsi-asumsi yang mereka miliki. Dengan sikap marxismenya Cox menyatakan bahwa “true knowldege” hanya akan dapat dicapai jika seseorang mengetahui apa yang diperbuatnya dan memahami apa yang dierpbuatnya, dan menerima bias atas apa yang sedang diperbuatnya.[5] dalam suatu sisi, Robert Cox juga menolak konsep neorealisme dengan apa yang disebut sebagai moralitas. Moralitas menurut asumsi Cox, akan menyebabkan adanya suatu pemikiran tentang adanya suatu “kebenaran”. Seperti yang sudah diungkapakan diatas. Cox mengklaim bahwa dirinya telah mencapai apa yang ia sebut sebagai kebenaran dengan menerima bias pernyataanya sendiri dan menyatakan pernyataanya itu. Menurut standarisasi yang dbuatnya sendiri, menurut Cox dirinya telah mencapai apa yang disebut sebagai kebenaran dan mengklaim bahwa apa yang dikatakanya adalah sesuatu yang benar.

Kontribusi Teori Kritis Terhadap Ilmu Hubungan Internasional
Kontribusi teori kritis terhadap Ilmu Hubungan Internasional yang tidak dapat dipungkiri lagi adalah karnya-karyanya yang begitu influential sehingga karya-karya teoritisi teori kritis tidak dipungkiri lagi digunakan oleh akademisi hubungan internasional untuk menjelaskan hal-hal yang tidak terjelaskan dalam teori-teori mainstream hubungan internasional yang ada. Salah satunya adalah topik dalam mata kuliah teori hubungan internasional yang secara khusus membahas mengenai teori kritis. Dengan demikian men-drive mahasiswa hubungan internasional untuk mencari bahan mengenai teori kritis, dan dengan dicampurkannya bahan teori kritis yang mereka dapat dengan pemahaman mereka sendiri (yang tentu sebagai mahasiswa hubungan internasional orientasinya akan menuju pada sistem internasional), hal ini tentu memperkaya teori kritis dalam kajian-kajian Ilmu Hubungan Interasional. Karena kebanyakan teori-teori Hubungan Internasional lahir karena hal serupa, yaitu pemikiran scholar terdahulu yang substansinya diinseminasi dan ekstraksikan dengan pemikiran akademisi itu sendiri. Hal seperti inilah yang melahirkan pemikir-pemikir hubungan internasional seperti Morgenthau, Waltz, Keohane, John Burton, Robert Cox, Alexander Wendt, dll. Sumbangan teori-teori kritis seperti postmodernisme, konstruktivisme, dan poststrukturalisme juga menawarkan suatu alternatif solusi bagi fenomena-fenomena yang tidak terpecahkan dalam teori-teori mainstream.
Selain itu juga, konstribusi teori kritis yang paling utama adalah dengan “kekritisan” yang mereka punyai, hal ini akan mengundang reaksi dari pemikir-pemikir mainstream tentunya. Dengan hal seperti ini perdebatan menjadi suatu hal yang inevitable. Dengan perdebatan yang ada, tentu hal ini memperkaya pemikiran-pemikiran yang ada di Ilmu Hubungan Interansional dengan mekanisme yang sama seperti apa yang sudah saya jelaskan di paragraf sebelumnya.
Kesimpulannya adalah, teori-teori kritis adalah teori-teori yang bergerak diliuar jalur memiliki kontribusi yang sangat istimewa bagi akademisi hubungan internasional dalam mengkonstruksikan arah dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Dengan demikian norma dari Ilmu Hubungan Internasional dapat dibangun meskipun beberapa pemikiran didalamnya menolak akan adanya sesuatu yang normatif.





Sumber:

Vasquez,J. , (1995) “The Post-Positivist Debate” in K. Booth and S. Smith (eds.), International Relations Theory Today. Cambridge: Polity Press, 217-40.
Edkins,Jenny. (1999), Post-structuralism & International Relations: Bringing the Political Back in (Critical Perspectives on World Politics), Lynne Rienner Publishers Inc, US.
Mandagie,Robin Riwanda. (2009) Marxisme dan Strukturalisme. Jurnal mata kuliah Teori Hubungan Internasional, Departemen Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Airlangga
Fienberg,Howard.(1995). Keohane’s Realisme and Its Critics. http://www.hfienberg.com/irtheory/neorealism.html diakses pada 19 Mei 2009
Cox,Robert . (1981). ‘Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory’, Millennium: Journal of International Relations Studies.


[1] J. Vasquez. (1995) “The Post-Positivist Debate” in K. Booth and S. Smith (eds.), International Relations Theory Today. Cambridge: Polity Press, 217-40.
[2] Jenny Edkins. (1999), Post-structuralism & International Relations: Bringing the Political Back in (Critical Perspectives on World Politics), Lynne Rienner Publishers Inc, US.
[3] Robin Riwanda Mandagie. (2009) Marxisme dan Strukturalisme. Jurnal mata kuliah Teori Hubungan Internasional, Departemen Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Airlangga
[4] Howard Fienberg.(1995). Keohane’s Realisme and Its Critics. http://www.hfienberg.com/irtheory/neorealism.html diakses pada 19 Mei 2009
[5] Robert Cox. (1981). ‘Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory’, Millennium: Journal of International Relations Studies.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar